Oleh: Basrin Melamba, S.Pd. M.A.
(Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UHO)
Periode Pra Integrasi
Pulau
Wawonii telah dihuni oleh manusia sejak
zaman pra aksara hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs di
beberapa gua di pulau ini. Di Wawonii sebelum terbentuknya tatanan politik
berupa kerajaan Tradisional telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang
dipimpin oleh Latungga.
Kawasan
Konawe Kepulauan sebelum terintegrasi ke Konawe merupakan satu unit
pemerintahan yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh. Hal ini ditandai dengan
beberapa pusat pemukiman kuno yang sampai saat ini masih dapat disaksikan,
misalnya Ladianta, Bobolio, Waworope, dan sebagainya. Tradisi lisan menuturkan
bahwa cikal bakal awal pemerintahan bermula di Ladianta. Wilayah Wawonii Konawe Kepulauan merupakan
daerah rebutan antara tiga kerajaan besar yaitu Ternate, Buton, dan Konawe.
Pembentukan Konawe
Kepulauan merupakan kesinambungan pemerintahan sebelumnya secara administrasi
berada di Kabupaten Kendari/Konawe bermula dari status sebagai sebuah wilayah
pemerintahan Kecamatan Wawonii kemudian mekar menjadi dua Kecamatan yaitu
Kecamatan Waworete tahun 1986. Perkembangan pemerintahan Kecamatan, dalam tulisan ini akan menjelaskan dinamika
perkembangan pembentukan Kecamatan di Pulau Wawonii sebagai pendukung
pemekaran.
Cikal-bakal pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan yaitu
berasal dari sebuah wilayah bekas kerajaan Tangkombuno/Wawonii (sejak abad
ke-13 hingga 1906), dilanjutkan wilayah kekuasaan distrik Wawonii dibawah Onderafdeeling Kendari, yaitu Distrik
Wawonii (1906-1962) kemudian menjadi
Kecamatan yakni Kecamatan Wawonii (1963-2013) dan Waworete (1986), yang
berkedudukan di Langara pada saat itu. Kecamatan ini dibentuk pada tahun 1964
bersamaan dengan dibentuknya pemerintahan ditingkat wilayah pada tingkat
Kecamatan di Kabupaten Kendari
(1964-2004), Kabupaten Konawe (2004-2013) pada saat itu.
Dari Humbuno
(Buhuno) hingga terbentuknya Kerajaan
Cerita rakyat folklore tentang humbuno atau buhuno sangat dikenal luas oleh masyarakat Wawonii dan bahkan
dipercaya sebagai asal mula terbentuknya Tanah/pulau Wawonii. Selama ini frase
tersebut merupakan nyanyian mbue-mbue
dan cerita rakyat, yang dalam dunia ilmiah/akademik tentu saja masih merupakan
atau menyisahkan suatu tanda tanya besar; apakah benar demikian, bahwa tanah
/pulau Wawonii terbentuk sebuah karang berbentuk lonjong yang dalam bahasa
Wawonii disebut “humbuno atau buhuno”.
Bahwa pulau Wawonii muncul menyerupai humbuno atau buhuno yang dapat dilompat oleh seekor ikan kemudian karang humbuno atau buhuno ini berkembang dan tumbuh hingga meluas dan membentuk
gunung dan daratan. Masyarakat setempat meyakini bahwa puncak humbuno atau buhuno itu adalah sebuah bukit berada diatas benteng Tangkombuno.
Berdasarkan diskusi penulis dengan berbagai sumber di
Wawonii kata humbuno atau buhuno
dapat diartikan pucuk batu yang duduk diatas batu, yang dalam bahasa Wawonii
yang mula muncul diatas permukaan air laut. Ada juga pendapat bahwa humbuno atau buhuno sebuah pucuk karang atau sebongkah batu yang muncul dari
laut, yang kemudian berkembang luas. Dari sisi proses endogen dan agradasi,
cerita ini mungkin benar, karena terjadinya proses pengangkatan pulau di dasar
laut secara perlahan-lahan. Banyak pulau-pulau karang di bola bumi ini terutama
di samudera Pasifik yang baru saja (hitungan ratusan tahun yang lalu) muncul ke
permukaan laut akibat poses tersebut.
Belum diketahui secara pasti asal usul dan awal
kedatangan penduduk yang kini menempati
Kepulauan Wawonii. Untuk mendapatkan keterangan tentang itu diperlukan
sumber-sumber sejarah yang relevan. Akan tetapi sampai sekarang khususnya
sumber tertulis belum ada. Oleh karena itu, dalam kerangka studi ini akan
digunakan sumber lisan atau oral
tradition. Sumber dimaksud berupa tradisi lisan oral tradition (cerita rakyat) yang berkembang secara turun
temurun, yang merupakan gambaran mental dan fakta sosial masyarakatnya.
Dalam catatan sejarah, persebaran umat
manusia ke berbagai belahan dunia di dorong oleh keinginan mencari
sumber-sumber kehidupan yang lebih baik dari tempat tinggal, (daerah asal)
sebelumnya, atau karena terdesak oleh kelompok lain yang lebih kuat dan
berkuasa. Dalam kaitan itu, upaya mencari daerah lain adalah alternatif untuk
tetap bertahan dan melangsungkan kehidupan.
Untuk menjelaskan asal usul masyarakat Wawonii digunakan paradigma umum
berkaitan dengan kondisional persebaran suku-suku bangsa di dunia termasuk di
nusantara.
Melihat kondisi alamnya yang gersang,
terbentuk oleh pegunungan karang ditengah Samudera, letaknya yang terpencil dan
sempit (kecil) dapat dipastikan bahwa kedatangan penduduk kekepulauan itu bukan
karena panggilan sadar untuk hidup dan menetap disana. Namun tidak dapat dipastikan pula dari mana
asal kedatangan mereka yang dapat dijadikan kerangka untuk mengetahui kondisi
yang terjadi di daerah asalnya, sehingga tidak dapat diketahui latar persebaran
mereka sampai akhirnya menempati Kepulauan Wawonii.
Pulau Wawonii merupakan pertemuan berbagai ras yaitu Ras
Mongoloid, ras Austroloid, dan Negroid.
Pulau ini juga merupakan pertemuan beberapa etnik di Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah seperti: Wawonii, To Rete, to Bungku, Tolaki, Kulisusu (ereke)
Buton, Menui, Ternate, dan sebagainya. Akibat pertemuan etnik di Wawonii terdapat
keragaman bahasa berbeda-beda termasuk dialek, serta adat istiadat yang berbeda
pulau. Gelombang pertemuan manusia terjadi dipulau ini, umur peradaban manusia
di pulau ini belum didapatkan data akurat masih butuh penelitian dan pengujian
arkeologis dengan cara uji carbon C 14 atau statifigrafis untuk
menentukan umur benda di beberapa situs gua yang ada di pulau Wawonii.
Ditinjau dari kedudukan geografisnya,
daerah ini merupakan penghubung antara daerah-daerah disekitarnya, dan telah
terintegrasi kedalam jaringan pelayaran dan perdagangan maritim nusantara sejak
ratusan tahun silam. Kedekatan geografi
dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menjelaskan asal usul
masyarakatnya. Dalam konteks ini, kerajaan
Konawe adalah daerah yang paling dekat dengan kepulauan ini.
Menurut
tinggalan arkeologis bahwa pulau ini pertama kali dihuni oleh manusia yang
tinggal di gua-gua atau ceruk. Mereka
ini masih hidup nomaden dan memanfaatkan alam untuk bahan makanannya. Kemudian
pada perkembangan selanjutnya mereka hidup menetap dan melaksanakan pertanian
secara tradisional.
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai asal mula penduduk yang menghuni daerah ini.
Pertama hipotesa luar, bahwa menurut tradisi lisan, nenek moyang orang Wawonii
berasal dari daratan Sulawesi Tenggara tepatnya di bagian kampung Lasolo dan Soropia (mereka ini menyebut orang
Torete).[2]
Terdapat juga versi bahasa sebagian etnik yang menghuni pulau ini berasal
dari daratan Pulau Buton bagian Utara di
kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak ratusan tahun yang
lalu. Tidak jelas benar darimana dan kapan mereka mulai menempati pulau ini.
Mereka menganggap sebagai penduduk asli di Pulau Wawonii, dan merupakan suatu
etnik bangsa tersendiri yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda
dari etnik-etnik bangsa lainnya di nusantara dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat
versi bahwa penemu pulau Wawonii ini membawa rombongan manusia berjumlah 40
orang atau patombulo bumbunga.
Sebagai simbol bahwa mereka bermukim ditempat ini maka mereka menanam sepohon
kayu, yang disebut kayu anta, dan
mereka memasang batu tungku (ladi).
Hingga sekarang masih kita kenal toponimi kampung bernama Ladianta. Pimpinan
rombongan ini melakukan penjelajahan pulau ini. Sebagai awal pemukiman mereka
pimpinannya membuat rumah yang disebut laika
atau raha. Kemudian mengatur pola
pemukiman penduduk.
Zaman Kerajaan Tradisional
Kerajaan Wawonii menurut sumber luar seperti Portugis
(1724), Belanda (1831/1885), disebut Boboni dan Wowoni. Hal ini
dijelaskan dalam sebuah sumber bahwa di sepanjang pantai Tombuku (Bungku)
terdapat banyak pulau karang yang menghasilkan banyak tripang dan termasuk
wilayah kerajaan. Hal itu yang terpenting adalah: dari selatan Boboni
(Baca: Wawoni’i) yang menghasilkan beras merah, dan beras putih, rotan, dan Kelapa. Disana
kita menemukan keladi dan buah-buahan dalam jumlah besar, seperti juga kerbau,
dan kambing.[3]
Menurut
sumber lokal berupa tradisi lisan oral tradition bahwa manusia yang
mula-mula mendiami pulau ini adalah bernama Latungga. Pada awalnya menurut
kepercayaan masyarakat bahwa pulau ini awalnya berbentuk bukit kemudian melebar
seiring dengan semakin turunnya permukaan laut atau pulau ini muncul dari
permukaan laut. Latungga ini awalnya
mendiami sebuah bukit yang disebut bukit Tangkombuno. Evidensi atau
bukti peninggalan pemukiman kuno ditempat ini masih dapat kita saksikan secara
arkeologis. Sekelompok manusia turun di pulau buhuno atau bukit, nama lain Tangkombuno. Mereka bermukim dengan
mengelompok sebanyak 70 kepala keluarga disekitar bukit Tangkombuno. Pimpinan
mereka sebut pinoko motua i (orang
yang dituakan), pada suatu saat Latungga berinisiatif mengangkat seorang
pemimpin yang disebut raja atau Mokole,
maka berkumpulah pemuka masyarakat dan berhasil memilih 7 orang yang bakal
menjadi raja atau pemimpin. Adapun ketujuh orang yang dimaksud yaitu: Batu, Kamina,
Burane, Sangke, Mente, Mbatu, dan Sigala.[4] Mereka
menemukan seorang bayi, bayi tersebut tumbuh dan besar kemudian Latungga dan
masyarakat mengangkat sebagai raja dengan nama Mokole Kobimoa sebagai nama bangsawannya. Kobimoa juga diberi gelar
Paapu artinya yang dipertuan agung.
Pada masa pemerintahan La Buke terjadi peristiwa di Wawonii,
pertama adanya perlawanan Kakiali yang mendapat bantuan orang Makassar dan
orang Butun di Wawani (Wawonii), Hitu terhadap VOC pada tahun 1634. Peristiwa yang
akhirnya dapat ditumpas itu,
terdapat 30 orang Butun pendukung perlawanan.
Peristiwa perampokan dan pembunuhan awak perahu (fluit) Velzen pada Januari
1635, yang terdampar di Pulau Wawonii, nakhoda perahu itu, Daniel van Vliest
bersama dengan enam orang awaknya pergi ke Butun untuk meminta pertolongan
kepada Sultan. Tindakan ini didasarkan atas isi kontrak Butun-VOC yang telah
ditanda tangani. [5]
Kerajaan
Tangkombuno/Wawonii memiliki sistem atau struktur organisasi pemerintahannya
sebagai berikut:
1. Lakino, bertindak sebagai kepala
pemerintahan atau pemegang tampuk kekuasaan dalam kerajaan.
2. Kapala kampo (baca kampung) adalah
pembantu Lakino dalam menjalankan
roda pemerintahan di wilayah kekuasaannya masing-masing yang telah ditentukan
Lakino. Jabatan kapala kampo ini
identik dengan perdana menteri, dan dalam badan sara (lembaga adat) kedudukannya
sebagai ketua badan Sara.
3. Kapita, adalah sebagai pemimpin angkatan
perang dan dalam badan Sara (lembaga
adat) kedudukannya sebagai anggota biasa.
4. Bonto, adalah sebagai pemimpin angkatan
perang dan dalam badan sara (lembaga
adat) kedudukannya sebagai anggota
biasa.
5. Sedangkan
lembaga sara atau lembaga adat adalah
identik dengan badan legislatif.
Struktur
Kerajaan Wawonii
MOKOLE/LAKINO
|
KAPALA KAMPO
|
KAPITA
|
BONTO
|
SARA/ADAT
|
Kerajaan Wawonii menurut sumber luar disebut Boboni dan Wowoni. Hal ini
dijelaskan dalam sebuah sumber bahwa di sepanjang pantai Tombuku (Bungku)
terdapat banyak pulau karang yang menghasilkan banyak tripang dan termasuk
wilayah kerajaan. Hal itu yang terpenting adalah: dari selatan Boboni (Baca: Wawoni’i) yang
menghasilkan beras merah dan beras
putih, rotan, dan kelapa. Disana kita menemukan keladi dan buah-buahan dalam
jumlah besar, seperti juga kerbau, dan kambing.[6]
Pulau Menui dan Wawonii dalam arsip dan dokumen Belanda
biasa disebut dengan istilah “Manui dan
Boboni atau Wowoni”. Selain itu pulau Boboni
(Wawonii) juga dihuni yang tidak saya ketahui pastinya. Jumlah mereka diduga
sangat banyak karena dilaporkan bahwa pulau itu memiliki kekayaan tanaman dan
buah-buahan, kerbau, kambing sementara selanjutnya beras meras dan hitam,
rotan, dan kelapa juga disetorkan. Juga pulau Menui (tetapi yang tidak saya
sebutkan pada peta mungkin seperti Manui), menurut Tuan Bosscher dihuni dan
menyetor hasil-hasil yang sama seperti Boboni. [7] Data
tersebut menunjukan bahwa pulau Wawonii juga disebut sebagai pulau Boboni yang selalu menyerahkan upeti
kepada Raja Bungku (Boengkoe). Wilayah Menui ditempatkan penguasa dengan
jabatan Kapitan oleh Raja Bungku yang ditempatkan pertama adalah Kapitan Satofa
Bin Laupeke yang nantinya menjadi Raja Bungku.[8]
Kerajaan
atau Kesultanan Ternate selalu mengaknesasi Kulisusu, dan pulau Wawonii yang
dianggap sebagai wilayah bagian Utara kekuasaan Kesultanan Buton.[9] Ada
satu pulau lagi yang diakui sebagai wilayah kekuasaan Butun yakni Wowoni,
terletak disebelah utara pulau Buton. Akan tetapi pulau ini masih menjadi
pertikaian antara Butun dan Ternate sampai pertengahan abad ke-19. Daerah ini
menjadi daerah rebutan dan hegemoni beberapa kerajaan di Kawasan Timur
diantaranya kerajaan Konawe, Kerajaan Ternate (Bungku), Kerajaan /Kesultanan
Buton, dan Kerajaan Laiwoei.
Pada paru pertengahan abad ke-19 telah
terjadi perlawanan terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda oleh Mokole Barala yang memerintah sejak tahun 1820-1901 . Untuk melakukan perlawanan Palari mengerahkan
sebanyak 300-an pasukannya mengempur pasukan Belanda. Memiliki struktur
pasukannya yang bertindak sebagai panglima
bernama Labawo, dibantu oleh Muh. Gazali Taslim. Perlawanannya dilakukan di laut dengan
menggunakan darangka (perahu). Bukti perlawanan Mokole Palari di dekat tanjung tempat mendaratnya puu tubu Langara. Selain itu Mokole Barala menghadapi gangguan perompak bajak laut Tobelo, dan
berhasil mengusir Tobelo. Pada tahun 1870 masa pemerintahan beliau Kerajaan
Wawonii berhenti menyetor pajak kepada Kesultanan Buton. (Encylopedia van Nederslands
Indie, 1917, 1936)
Pada
tahun 1870 Wawonii berhenti menyerahkan pajak atau upeti pada Kesultanan Buton,
pada tanggal 15 April 1914 Sultan Buton
melepas Wawonii dan resmi bergabung dengan Onderafdeeling
Kandari/Laiwoei atau Konawe. Konawe Kepulauan bergabung dalam pemerintahan
kabupaten Kendari 1964-2003 dan 2003 sampai 2013. Tahun 1917 resmi bergabung
dengan Konawe (Onderafdeeling
Kendari) atas usaha yang dilakukan oleh Haji Laasamana atau Tata dan Kepala
Distrik Wawonii H. Muhammad Gazali gelar Laki Sabu.
Pemerintahan Distrik Wawonii
Daerah ini masuk dalam pemerintahan Gouvernement Celebes en onderhoorigheden atau Gubernur Sulawesi dan
daerah taklukannya. Terdiri dari beberapa wilayah Afdeeling. Setiap afdeeling
dijabat oleh seorang Asisten Residen (asistent
resident). Setiap Asisten Residen membawahi beberapa kontrolir (controleur) yang tampil
menjadi kepala pemerintahan pada ”cabang pemerintahan” (Onderafdeeling).
Setiap Onderafdeeling terbagi pula atas beberapa distrik (district)
dan setiap distrik dikepalai oleh seorang regen
(regent). Setiap regen membawahi beberapa kepala kampung.[10] Setiap bagian pemerintahan Onderafdeeling di bagi lagi ke dalam beberapa wilayah administratif
pemerintahan yang disebut dengan istilah ”distrik”.
Penguasa atas distrik dipegang oleh seorang pejabat pemerintah bumiputra.
Bestuur Afdeling van Oost Celebes (Afdeling Sulawesi
Timur) kemudian
berubah menjadi Afdeling Buton en Laiwui
terdiri dari tiga wilayah yaitu:
Onderafdeling Buton, Onderafdeling Muna (Wuna/Moena),
Onderafdeling Kendari, dan Onderafdeeling Toekang Besi Eiland. Onderafdeeling Kendari ini dibagi beberapa daerah
distrik yang masing-masing membawahi derdistrik. Salah satunya adalah Distrik Wawonii yang berkedudukan di
Munse yang dipimpin oleh Kepala Distrik.
Dalam
perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan lokal sudah
menyebutkan bahwa Wawonii masuk dalam kekuasaan kerajaan Konawe/ Laiwoi.
Berikut isi pasal
2 disebutkan: Bangsa Belanda mengakui
daerah kekuasaan Raja Laiwoi: bagian utara sampai To Bungku, dibagian barat sampai Luwu, termasuk
daratan Sulawesi yang berbatasan dengan Buton, bagian selatan sampai Tiworo
(Tijoro), dan bagian Timur sampai dengan Pulau Wawonii, Saponda, Madilau,
Saponda Madora, Dange-Dangeang, Pulau
hari, Cempeda, dan Tomowu. Diakui pula etnik-etnik
bangsa yang mendiami pulau-pualu tersebut kedaulatannya.
Kedudukan
Wawonii sudah berdiri sendiri menjadi sebuah Distrik sudah tidak bergabung ke Distrik
Ranomeeto seperti masa sebelumnya. Distrik Wawonii memiliki wilayah
pemerintahan tingkat kampung pada saat itu yang dipimpin oleh kepala-kepala
kampung. Adapun struktur pengurus kampung adalah sebagai berikut:
No
|
Wilayah
|
Kampung
|
Keterangan
|
1
|
Munse
|
Kapala Lebo
|
|
|
|
Kapala Mata Bunga
|
|
|
|
Kapala Tekonea
|
|
|
|
Kapala Puulara
|
|
2
|
Ladianta
|
Kapala Palingi
|
|
|
|
Kapala Bungku-Bungku
|
|
|
|
Kapala Noko
|
|
|
|
…..?
|
|
3.
|
Lansilowo
|
Kapala Labeau
|
|
|
|
Kapala Lomba one
|
|
|
|
Kapala Labisa-bisa
|
|
4
|
Langara
|
Kapala Langara laut (Pemukiman
Bajo)
|
|
|
|
Langara Darat (Pemukiman Tolaki Wawonii)
|
|
|
|
Kapala Batumea
|
|
5.
|
Lampeapi
|
Kapala Wungkolo
|
|
|
|
Kapala Lango-lango
|
|
|
|
Kapala Campeda
|
|
6
|
Wawouso
|
Kapala Bobolio
|
|
|
|
Kapala Lawei
|
|
|
|
Kapala Roko-Roko
|
|
Sumber; Diolah dari berbagai sumber.
Setiap distrik di kepalai oleh seorang Kepala Distrik
(Kapala Distere) dibantu seorang juru tulis. Pada
wilayah distrik Wawoni’i pada saat itu terdiri
atas beberapa
kampung yaitu Lansilowo, Lampeapi, Langara, Munse,
dan Ladianta.[11] Pada wilayah kampung
di Wawonii ini masing-masing di pimpin oleh Kepala Kampung. Setelah adanya perubahan sistem
pemerintahan dari status Lakino ke
status Distrik, dimana pulau Wawonii termasuk satu distrik yang terdiri dari
enam (6) kampung gabungan yaitu: (1) kampung gabungan Ladianta; (2) kampung
gabungan Munse; (3) kampung gabungan Wawouso; (4) kampung gabungan Lamongupa;
(5) kampung gabungan Langara; (6) kampung gabungan Lansilowo. Keenam kampung inilah yang menjadi Desa setelah berakhirnya
sistem distrik.
Berikut nama-nama kepala distrik di Wawonii
No
|
Nama
|
Periode
|
Keterangan
|
1.
|
H. Muhammad Gazali
|
1901-1906
|
Kepala Distrik I
|
2.
|
Lagansa
|
1906
|
Kepala Distrik II menjadi kepala
distrik hanya 8 jam ia mengundurkan diri
|
3.
|
H. Muhammad Gazali
|
1906-1910
|
Kepala Distik III (kembali
diangkat karena Lagansa mengundurkan diri)
|
4.
|
H. Ismail
|
1910-1950
|
Kepala Distrik IV
|
5.
|
Nuhun
|
1950-1962
|
Kepala Distrik V
|
Sumber:
Diolah dari berbagai sumber.
Periode Masa Pemerintahan Kabupaten Kendari
Pada tahun 1961 dengan berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara tanggal 19 Desember 1961, Nomor :
2607/A/1961, tentang Perubahan Distrik menjadi Kecamatan yang di dalamnya termasuk Distrik Wawonii.
Dengan demikian pulau Wawonii sejak tahun 1961 telah terbentuk menjadi satu Kecamatan dengan ibukota kecamatannya di Lampeapi dan sejak itu pula dari 6 kampung
gabungan tersebut di mekarkan menjadi 24 desa. Pada tanggal, 17 Agustus 1962
diadakan pengibaran pertama bendera Merah Putih di Munse, yang dihadiri oleh Camat,
Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Kendari, tokoh masyarakat, tokoh adat, unsur
pemuda, organisasi masyarakat, dan unsur masyarakat Wawonii.
Kabupaten Kendari pada saat itu terbagi atas 4
wilayah koordinator. Kecamatan Wawonii
masuk dalam wilayah koordinator Kecamatan Kendari berkedudukan di Kota Kendari.
Jumlah kecamatan Kabupaten Tingkat II
Kendari sampai tahun 1982 ialah 15 Kecamatan dan 7 perwakilan
Kecamatan. Ketujuh perwakilan Kecamatan termasuk Wawonii yaitu Waworete
dibentuk berdasarkan surat
Keputusan Gubernur Sultra Nomor : 45
tahun 1979 tanggal 23 Maret 1979 dan setelah diusulkan oleh Gubernur Sultra
kepada Mentri Dalam Negeri maka dengan peraturan pemerintah Nomor: 49/1986
tanggal 15 Desember 1986, enam dari tujuh perwakilan Kecamatan defenitif dalam
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari, sedangkan perwakilan kecamatan
Lainea di Kolono belum karena masalah administrasi.[12]
Melihat kemajuan pembangunan di Wawonii dalam dinamika pembangunan pada saat itu, maka pada tahun 1987 dengan Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara tentang Pemekaran Kecamatan, maka
Kecamatan Wawonii dimekarkan menjadi 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Wawonii
terdiri 10 buah desa dengan ibu kota kecamatannya Langara Iwawo, dan Kecamatan
Waworete terdiri dari 14 desa dengan ibukota kecamatannya Munse.
Pemerintahan Kecamatan Wawonii
(1962-1986)
Sebelum
terbentuknya Kecamatan Wawonii, dikenal
dengan sistem pemerintahan distrik. Berturut-turut memerintah Kepala distrik
Haji Muhammad Gazali digelar Laki Sabu (artinya kepala/pimpinan
yang diturunkan). Pada pemerintahan
Hindia Belanda yang bertindak sebagai Lakina Wawonii Haji Ismail, dilanjutkan
oleh Nuhun dengan status kepala distrik sampai tahun 1959 dan berakhir tahun
itu juga seiring dihapuskannya Swapraja. Pada saat itu Swapraja Kendari diubah
menjadi Kawedanan atau Daerah Swatantra DASWATI TK. II Kendari wilayahnya
termasuk Wawonii.[13] Secara resmi Kecamatan Wawonii terbentuk sejak tanggal, 27 April 1964.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 2/1964 jo. UU. nomor. 13/1964, tentang
pembentukan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Pada saat itu Sulawesi
Tenggara terbentuk menjadi Kabupaten Kendari. Pada saat terbentuknya Provinsi
Sulawesi Tenggara terdiri dari 40 Kecamatan salah satunya adalah Kecamatan
Wawonii.
Pada tahun 1962 ibu kota dipindahkan
dari Kampung Lampeapi ke Kampung Langara
dengan pertimbangan pada saat itu daerah ini mudah dijangkau, dekat dengan ibu
kota Kendari sebagai ibu kota Kabupaten Kendari pada saat itu.[14]
Selain itu masalah sarana dan prasarana.
Kampung Lampeapi salah satu pemukiman tua di daerah ini. Lampeapi berarti
sungai dan kayu api, atau sungai yang dipinggirnya telah ditumbuhi oleh salah
satu jenis kayu oleh penduduk dalam bahasa lokal menyebutnya peapi.
Pada tahun 1965 wilayah Kecamatan Wawonii yang sebelumnya
hanya terdiri dari 6 desa ditambah menjadi 10 desa atas usul Camat Wawonii hal
ini sesuai surat permohonan dan
disetujui oleh Bupati Kendari Drs. H. Abdullah Silondae. Kecamatan Wawonii dari Kabupaten Dati II Kendari terdiri dari
10 desa dan 1 Kelurahan. Pada perkembangan selanjutnya hingga tahun 1986 jumlah
desa di Kecamatan Wawonii sebanyak 22 desa 2 kelurahan. Pada tahun 1986
dimekarkan menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete. Pembentukan
Kecamatan Waworete sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor: 49 tahun 1986
tentang pembentukan Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Dati II Kendari. Kecamatan
Waworete pada saat itu terdiri dari 13 desa tambah 1 (satu) Kelurahan.
Sejarah Kecamatan
Pembentukan Konawe
Kepulauan merupakan kesinambungan pemerintahan sebelumnya secara administrasi
berada di Kabupaten Kendari/Konawe bermula dari status sebagai sebuah wilayah
pemerintahan Kecamatan Wawonii kemudian mekar menjadi dua Kecamatan yaitu
Kecamatan Waworete tahun 1986. Perkembangan pemerintahan Kecamatan, dalam tulisan ini akan menjelaskan dinamika
perkembangan pembentukan Kecamatan di Pulau Wawonii sebagai pendukung
pemekaran.
Cikal-bakal pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan yaitu
berasal dari sebuah wilayah bekas kerajaan Tangkombuno/Wawonii (sejak abad
ke-13 hingga 1906), dilanjutkan wilayah kekuasaan distrik Wawonii di Onderafdeeling Kendari, yaitu Distrik
Wawonii (1906-1962) kemudian menjadi
Kecamatan yakni Kecamatan Wawonii (1963-2013) dan Waworete (1986), yang
berkedudukan di Langara pada saat itu. Kecamatan ini dibentuk pada tahun 1964
bersamaan dengan dibentuknya wilayah pada tingkat Kecamatan di Kabupaten Kendari (1964-2004), Kabupaten
Konawe (2004-2013) pada saat itu.
Pada tahun 1963 jumlah kampung atau kepala kampung gabungan
yang ada di pulau Wawonii berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah
Kendari tanggal 1 Mei 1963 nomor: 21/1963, berjumlah 7 (tujuh) Kepala kampung
masing-masing yaitu:
No
|
Nama
Kepala Kampung
|
Pangkat/Djabatan
|
Nama Desa
|
Djumlah/Djiwa
|
1
|
Salopo
|
Kepala Desa
|
Wawouso
|
1.355
|
2
|
Abd. Halim
|
Sama
|
Lampeapi
|
1.312
|
3
|
H. Abdullah
|
Sama
|
Langara
|
1.932
|
4
|
Surura
|
Sama
|
Lansilowo
|
2.198
|
5
|
Muh. Muridun
|
Sama
|
Ladianta
|
1.570
|
6
|
Muh. Sirata
|
Sama
|
Munse
|
1.625
|
7
|
Haji Rasido
|
Sama
|
Laonti
|
851
|
|
Djumlah
|
|
|
10.855
|
Sumber: Arsip Kabupaten Kendari 1963
di Badan Perpustakaan Arsip Daerah Sulawesi Tenggara
Pada
perkembangannya wilayah Kecamatan Wawonii dari 7 (tujuh) menjadi 6 (enam)
karena kampung Laonti masuk Kecamatan Moramo Kabupaten Kendari bagian selatan
pada saat itu, hal ini sesuai keputusan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kendari
tanggal, 2 Juli 1964 nomor: pemb. 1/1/900.[15] Perkembangan
selanjutnya pada tahun 1964 Kecamatan Wawonii dibentuk seiring dengan perubahan
dari Distrik menjadi Kecamatan. Pada tahun 1965 terjadi pemekaran wilayah hal
ini sesuai usul Pemetjahan Desa dalam wilajah Ketjamatan Wawonii dari enam (6)
Desa menjadi sepuluh (10) Desa pengangkatan kepala/anggota pamong desa baru
sesuai surat Kepala Kecamatan Wawonii pada saat itu Muh. Kasim Gama nomor: Pemb.
1/2/1/Rah/1965. Tahun 1965 beberapa desa dimekarkan atau terjadi penambahan hal
ini berdasarkan surat Kepala Kecamatan Wawonii surat tanggal, 29 Desember 1965
tentang usul Kecamatan desa-desa dalam wilayah Kecamatan Wawonii dari 6 (enam)
desa menjadi 10 (sepuluh) desa dan pengangkatan kepala/anggota pamong Desa
baru.
Camat pertama di Kecamatan Wawonii dijabat oleh Moh. Rasyid
Kende, kemudian dilanjutkan oleh Asis Musu, karena kondisi kesehatan beliau
Asis Musu maka Bupati Kendari menunjuk saudara Letda A.B. Djas Daut, kemudian
pada tahun itu juga ia dibebas tugaskan karena mengalami sakit, proses
pergantian beliau sesuai surat keputusan Nomor; 38/IV/1968 tanggal 12 Juni 1968
tentang pembebasan selaku pelaksana tugas Kepala Kecamatan Wawonii, selanjut ia
digantikan camat baru Sikala pidani
sejak tahun 1968. Tahun 1969 terjadi lagi pemekaran wilayah desa hal ini sesuai Surat Bupati Kepala
Daerah melalui Kepala Badan Pemerintahan dan Desa, tertanggal 13 Oktober 1969
tentang Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kendari tanggal 2 Oktober 1969
nomor: 61/I/KDH/69 tentang pengangkatan kepala-kepala desa yang baru terbentuk
dalam Kecamatan Wawonii.[16]
Pada tahun 1986 Kecamatan Wawonii dimekarkan menjadi dua
Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete. Ibu Kota Waworete ditempatkan di Munse.
Kecamatan Wawonii pada saat itu terdiri dari 10 desa dengan luas wilayah
Kecamatan 203,80 km2 dan jumlah penduduk tahun 1993 atau sekitar 20 tahun yang
lalu sebelum mekar yaitu mencapai 11.344 jiwa atau kepadatan penduduknya 56
jiwa/km2. Jumlah Kecamatan di Kabupaten
Tingkat II Kendari sampai tahun 1982 ialah 15 Kecamatan dan 7 perwakilan
Kecamatan. Ketujuh perwakilan Kecamatan termasuk Wawonii yaitu Waworete
dibentuk berdasarkan surat Keputusan Gubernur Sultra Nomor : 45 tahun 1979 tanggal
23 Maret 1979 dan setelah diusulkan oleh Gubernur Sultra kepada Menteri Dalam Negeri
maka dengan peraturan pemerintah Nomor: 49/1986 tanggal 15 Desember 1986, enam
dari tujuh perwakilan Kecamatan defenitif dalam wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Kendari, sedangkan perwakilan Kecamatan Lainea di kolono belum
karena masalah administrasi.[17]
Namun
dengan demikian meskipun enam Kecamatan yang baru defenitif tersebut belum
diresmikan oleh pejabat yang berwenang maka sampai tahun 1987 ini jumlah
Kecamatan di Kabupaten Kendari menjadi 21 dengan nama dan pusat pemerintahan
yaitu: Wawonii dengan pusat pemerintahan di Langara, dan Kecamatan Waworete
dengan pusat pemerintahan di Munse. Berikut nama-nama Desa di Kecamatan Waworete
pada tahun 1987 yaitu: Kelurahan
Munse, Desa Lansilowo,
Desa Palingi, Desa Mawa, Desa Noko, Desa Ladianta, Desa dimba, Desa Lebo, Desa
Tekonea, Desa Mosolo, Desa Poolara, Desa Roko-Roko, Desa Bangun Mekar, dan Desa Nambo Jaya.[18]
Pada
tahun 1982 terjadi pergantian kepala Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kendari
salah satunya Kecamatan Wawonii yaitu dari Drs. M. Saada Taslim yang diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor: 411/1982 kemudian digantikan oleh Drs. Kaharuddin
Hamiaso sesuai surat keputusan Gubernur nomor: 84/1985 tanggal 8-4-1986.[19] Pada
tahun 1986 terjadi pemekaran Kecamatan Wawonii dibagi menjadi dua yaitu
Kecamatan Waworete sebagai pemecahan dari Kecamatan induk Wawonii.
Dibentuknya Kecamatan Waworete yang semula merupakan bagian dari wilayah
Kecamatan Wawonii, maka wilayah Kecamatan Wawowi dikurangi dengan wilayah
Kecamatan Waworete. Pusat Pemerintahan Kecamatan Waworete berada di Kelurahan
Munse.[20] Berikut
nama-nama yang pernah menjadi kepala
distrik dan camat di Wawonii yaitu
sebagai berikut:
Sumber: Diolah dari
berbagai sumber; Memorie serah terima
jabatan Bupati Kendari tahun 1972-2013, Arsip Kabupaten Kendari, dan
Arsip Kecamatan Wawonii diolah dari berbagai tahun 1965-2013.
Pemekaran Konawe Kepulauan
Istilah Konawe
Kepulauan, pada tahun 2014 Kecamatan yang meliputi Wawonii Barat, Wawonii
Selatan, Wawonii Selatan, Wawonii Tenggara, Wawonii Utara, Wawonii Tengah,
Wawonii Timur, Wawonii Timur Laut merupakan istilah administratif pembagian pemerintahan
akibat proses pemekaran, tetapi pada dasarnya secara historis dan kewilayahan
daerah ini dikenal Wawonii (sebelumnya
menjadi Distrik Wawonii yang di
pimpin oleh Kepala Distrik) yang
merupakan bekas/wilayah kerajaan Konawe. Wilayah ini dihuni oleh etnik Wawonii yang memiliki unsur-unsur kebudayaan
tersendiri dan beberapa etnis yang sudah
lama menghuni pulau ini seperti Torete, Tolaki, Bungku, Tolaki, dan
sebagainya.
Menyingkapi masalah yang dihadapi
masyarakat Wawonii, maka sejak tahun 1970-an muncul kelompok-kelompok diskusi
berupa wacana pembentukan pemekaran Kabupaten yang berdiri sendiri. Diskusi
rencana pemekaran mulai nampak sejak tahun 1975 dalam aktivitas sosial
pertemuan dalam acara perkawinan, syukuran maupun melibatkan orang banyak,
baik tokoh masyarakat, tokoh adat,
tokoh agama, cerdik pandai, pemuda, pelajar, dan mahasiswa di Wawonii.
Emrio ide atau gagasan pembentukan
Kabupaten di wilayah ini muncul sejak tahun 1975. Kemudian upaya pemekaran wilayah
di Kabupaten Konawe dan Konawe Kepulauan bagian utara di latar belakangi selain pertimbangan historis juga diawali
oleh didirikannya kerukunan keluarga Asera, Lasolo, Wawoni’i, dan Waworete dengan akronim Asowowo terbentuk pada 11 September 1994. Jumlah
anggota arisan sekitar 70 orang yang berdiam di Kota Kendari dan sekitarnya.
Ide atau
wacana pemekaran atau keinginan untuk berpisah atau mekar dari Kabupaten
induk Konawe, diwujudkan dalam bentuk gagasan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan sudah
mengemuka pada awal dekade tahun 2000-an. Paling tidak nampak
melalui diskusi-diskusi non formal dikalangan tokoh
masyarakat, pemuda pelajar dan
mahasiswa yang berasal dari Wawonii, baik yang ada di Pulau Wawonii, Kota Kendari,
maupun yang sedang melanjutkan pendidikan ke beberapa perguruan tinggi di
luar daerah. Wacana pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan tersebut, selain
diilhami oleh eksistensi Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki karakteristik wilayah
yang menyerupai dengan Pulau Wawonii, juga dikarenakan oleh adanya pemindahan
ibu kota Kabupaten Kendari (Kabupaten Konawe) tahun
1982 dari Kota Kendari ke
Unaaha.[21]
Keinginan segenap
komponen masyarakat untuk mewujudkan Wawonii sebagai kabupaten baru semakin
menguat, ketika terjadi reformasi pada tahun 1998 yang kemudian melahirkan
era otonomi daerah, ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keungan antara pemerintah pusat dan daerah. Nmun demikian, oleh karena
kondisi pulau Wawonii pada awal pelaksanaan otonomi daerah belum memungkinkan
menjadi daerah otonom baru, terutama jika dilihat dari sisi persyaratan
administrasi pemerintahan, maka upaya maksimal yang dapat dilakukan adalah
memekarkan wilayah adminstrasi Desa/Kelurahan dan Kecamatan yang telah memenuhi syarat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain melakukan
pemekaran wilayah, juga ada upaya untuk bergabung ke dalam wilayah daerah
otonom Kota Kendari yang mencuat pada kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002. Upaya masyarakat Wawonii untuk bergabung dengan
Kota Kendari tersebut, tidak hanya sekedar dipicu oleh keinginan masyarakat
Wawonii untuk memperoleh kemudahan melalui pendekatan pelayanan dengan pusat
pemerintahan dalam berbagai hal, tetapi juga dimaksudkan sebagai langkah awal
untuk menjadikan Wawonii sebagai daerah otonom baru. Tindakan ini rasional bahwa jarak antara pulau Wawonii sangat dekat
dengan Kota Kendari, jika dibandingkan dengan kota Unaaha, untuk mencapai
kota ini penduduk harus menempuh jalan darat.
Diawali dengan diskusi-diskusi
intensif yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat yang berasal dari
Pulau Wawonii, baik yang ada di
Pulau Wawonii, Kota Kendari maupun yang ada di luar daerah, kemudian
melahirkan beberapa kesepakatan. Dalam perkembangannya, pada akhir tahun 2006
disepakati untuk menyelenggarakan “Rapat Akbar” yang direncanakan akan dilaksanakan pada
awal tahun 2007. Rencana pelaksanaan rapat Akbar masyarakat
dari Pulau Wawonii tersebut, dapat diselenggarakan pada tanggal 21 Januari
2007 di Hotel Ataya Kendari yang diikuti oleh seluruh komponen masyarakat
se-Pulau Wawonii dengan agenda pokok adalah mendeklarasikan pembentukan Kabupaten Wawonii. Pada saat itu dibentuk “Panitia
Percepatan Pembentukan Kabupaten Wawonii (PPPKW)”. Pelaksanaan rapat akbar
tersebut, diinisiasi dan difasilitasi oleh sekelompok generasi muda yang
berasal dari Pulau Wawonii sebanyak 9 orang. Sekelompok generasi muda ini
kemudian dikenal dengan nama Tim
Sembilan mengapa disebut tim Sembilan karena jumlah
timnya berjumlah Sembilan orang. Tim sembilan ini yang sebelumnya telah secara intensif melakukan
pertemuan-pertemuan untuk mendiskusikan dan mengkomunikasikan persiapan
pelaksanaan rapat akbar dalam rangka pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan
kepada segenap komponen masyarakat yang berada di Pulau Wawonii dan di Kota
Kendari.
Berikut
daftar nama-nama Tim
sembilan atau Panitia Pelaksanan Rapat Akbar
persiapan Pembentukan Kabupaten Wawonii: 1). Musbahuddin
Siddiq,
2). Ishak Azis, 3). La Ode Ali Basiru, 4). Marten
Hurusani,
5). Ajesar Boy, 6). Muhammad Farid,
7). Muhammad Buchari, 8). M. Tayeb Demara, dan 9). Ibrahim
Siddiq.
Sekretariat tim 9 terletak di Kelurahan Benu-Benua Kecamatan Kendari yang
merupakan rumah kontrak La Ode Ali Basiru. Tim ini bertugas merencanakan
pertemuan akbar atau perdana mempertemukan tokoh masyarakat, pemuka agama,
tokoh Adat. Pertemuan dilaksanakan di Hotel
Ataya pada tanggal, 21 Januari 2007. Dalam pertemuan itu hadir tokoh
masyarakat Wawonii baik di Kendari maupun di Wawonii, para camat tercatat lima orang camat yang hadir, tokoh
adat, tokoh agama, pemuda, dan
Mahasiswa.
Dalam rangka untuk mengawal dan fasilitiasi pelaksanaan
rekomendasi pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, dalam forum mengadakan rapat akbar yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2007 di Hotel
Ataya Kendari. Rapat tersebut telah
berhasil menyepakati bentuk dan nama organisasi persiapan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulaun. Dalam forum
rapat juga telah berhasil memilih formatur yang akan menyusun personalia panitia. Formatur ini
diketuai oleh bapak Drs. H. Muh. Nasir Abdullah
dan Sekretaris Awaludin, S.Pd. M.Pd.
Pada pertemuan tersebut disepakati
pembentukan atau pemekaran Wawonii menjadi sebuah Kabupaten lepas dari induk
Kabupaten Konawe. Pada saat itu dibentuk Panitia Pemekaran, terdiri Ketua
Umum bapak Drs. H. Muh. Nasir Abdullah,
dan Wakil Ketua Muhammad Amin Lamampa. Dan pada saat itu juga disepakati nama
calon kabupaten pemekaran adalah Kabupaten Wawonii. Penamaan Kabupaten Wawonii memiliki akar
historis bahwa selama ini daerah ini dikenal sebagai pulau Wawonii, pernah
berdiri kerajaan Tangkombuno/Wawonii, distrik Wawonii, dan Kecamatan Wawonii.
Term Wawonii memiliki arti diatas pohon kelapa. Tanaman kelapa merupakan
simbol daerah.
Nama calon pemekaran
Kabupaten Konawe Kepulauan adalah Wawonii,
sedangkan calon lokasi ibu kota pembentukan daerah kabupaten Konawe Kepulauan
meliputi 3 (tiga) lokasi yang merupakan unggulan untuk disusulkan sebagai
calon lokasi ibu kota. Saat itu panitia pemekaran mengusulkan
beberapa lokasi calon ibu kota Konawe Kepulauan. Ketiga daerah tersebut yaitu
Langara, Tombaone, dan Sawaea. Akhirnya disepakati lokasi ibu kota
berkedudukan di Langara.
Dalam sidang DPRD Konawe dengan agenda
sidang tanggapan atas permintaan pemekaran, hasilnya diputuskan
merekomendasikan kepada eksekutif untuk memproses lebih lanjut aspirasi
masyarakat Wawonii. Ketua DPRD Konawe mengeluarkan rekomendasi nama Kabupaten
Pulau Wawonii. Akan tetapi setelah berkonsultasi dengan pihak pemerintah
dalam hal ini Bupati Konawe berkeinginan lain mengenai penamaan ia
mengusulkan dan menetapkan nama daerah pemekaran baru yang letaknya berada di
wilayah laut berupa pulau Wawonii
yaitu Konawe Kepulauan.
Setelah kelengkapan administrasi rampung
maka berkas diantar ke Jakarta bagian Sekretariat DPR RI dan Departemen Dalam
Negeri. Kabupaten Konawe Kepulauan
masuk dalam agenda dari 40 daerah calon pemekaran. Wawoni masuk
verifikasi dari 40 calon DPOD turun menjadi 33, kemudian turun menjadi 25,
kemudian menjadi 19 nama Kabupaten pemekaran Konkep tetap ada.
Untuk memperkokoh perjuangan dan
mendukung pemekaran dan mengantisipasi poses tersebut maka pada tanggal 28
Desember 2007 diadakan rapat di gedung Komite Nasional Pemuda Indonesai
(KNPI) Wua-wua,[22]
membahas beberapa langkah-langkah dalam percepatan pemekaran Konawe
Kepulauan.
Selanjutnya setelah dinyatakan lolos
verifikasi oleh DPR RI dan Departemen
dalam Negeri, dimana terdapat 19 calon DPOD yang akan diadakan peninjauan
atau masuk agenda pemekaran di Jakarta. Pada tahun 2008 datang rombongan anggota
DPR RI dari Komisi II melakukan peninjaun lokasi atau lapangan calon daerah pemekaran,
termasuk peninjauan calon lokasi ibu kota Kabupaten. Diantara anggota DPRD
yang hadir yaitu Hj. Wa Ode Nurhayati, SE, (dari Komisi II, anggota DPR RI
asal PAN), H. Kamarudin (anggota DPD RI) dan anggota dari Komisi II DPR RI. Setelah
tim dari DPR RI meninjau lapangan beberapa bulan kemudian turun tim gabungan
DPOTD melihat dan meninjau kondisi lapangan. Setelah mereka pulang pada saat
sidang disimpulkan bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan oleh DPR RI dan DPOTD,
Depdagri dinyatakan layak untuk menjadi Daerah Otonomi Baru atau Kabupaten
baru.
Pada bulan November 2011 tim dari pemerintah pusat
datang di pulau Wawonii. Tim tersebut bertugas untuk melakukan klarifikasi antara usulan dengan kondisi
lapangan maka Tim dari Depdagri melakukan kunjungan. Tim DPOD (Direktoral
Jenderal Otonomi Daerah) saat turun verifikasi administrasi langsung di
wilayah ini pada bulan November
menyatakan di hadapan warga Wawonii, bahwa Konawe Kepulauan sudah layak untuk
dimekarkan karena memenuhi syarat verifikasi administrasi. Jadi tim DPOD saat
itu mengaku tidak ada alasan Konawe Kepulauan tidak dimekarkan.
Verifikasi dianggap lengkap, maka
Kabupaten Konawe Kepulauan masuk tahap selanjutnya yaitu masuk dalam agenda
sidang DPR RI bersama beberapa calon DOB. Pada bulan Agustus 2012 Rancangan Undang-Undang Pemekaran telah
selesai. Tinggal menunggu jadwal waktu pembahasan. Panitia pemekaran terus
melakukan lobi-lobi ditingkat fraksi guna memuluskan pengesahan draf UU
pemekaran tersebut. Konawe Kepulauan
dimekarkan bersamaan dengan calon Kabupaten Kolaka timur.
Ujung perjuangan akhirnya terwujud tepat
tanggal 13 Desember DPR RI akhirnya bersidang dan mengesahkan dua Daerah
otonomi baru khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Konawe
Kepulauan sesuai UU nomor: 13 tahun 2013. Pada saat penetapan dan pengesahan
UU nomor: 13 tahun 2013 di gedung sidang Nusantara Pramana DPR RI turut
hadir: Bupati Konawe Dr. H. Lukman Abunawas, Nisbanurrahim, Awaludin, para
camat dalam lingkup wilayah pulau Wawonii seperti Hasan Hartono Camat Wawonii
Tenggara, Taha Camat Wawonii Utara, Kadir Camat Wawonii Tengah, Alimudin
(Camat Wawonii Timur), unsur tokoh masyarakat, H. M. Amin, Andi Muh. Lattig,
SE, tokoh pemuda, dan mahasiswa.
Setelah pengesahan maka pemerintah
Kabupaten Konawe bersama Muspika, camat, birokrasi, panitia pembentukan
Kabupaten Konkep, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh lapisan masyarakat Wawonii
mengadakan syukuran di Langara yang dihadiri oleh Bupati Konawe.
Ujung perjuangan akhirnya terwujud tepat
tanggal 13 Desember DPR RI akhirnya bersidang dan mengesahkan dua Daerah
otonomi baru khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Konawe
Kepulauan sesuai UU nomor: 13 tahun 2013. Setelah pengesahan maka pemerintah
Kabupaten Konawe bersama Muspika, camat, birokrasi, panitia pembentukan
Kabupaten konkep, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh lapisan masyarakat Wawonii
mengadakan syukuran di Langara yang dihadiri oleh Bupati Konawe.
Masyarakat
Pulau Wawonii, dan berjuang menuju pemekaran selama kurang lebih 10 tahun,
maka hasilnya adalah pada tanggal 2
Januari 2013 keluarlah Undang-Undang
tentang Pembentukan Kabupaten
Konawe Kepulauan No. 13 Tahun 2013. Tepat enam bulan kemudian, yakni
pada tanggal 2 Juli 2013
dilakukan pelantikan pejabat Bupati
Konawe Kepulauan yang dijabat pertama, H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si
yang dilantik oleh Gubernur Sultra H.
Nur Alam, SE, M.Si., di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.
Demikianlah sekelumit sejarah terbentuknya pemerintahan
di Wawonii sejak dari pra integrasi, selanjutnya pemerintahan Kerajaan,
Distrik, Kecamatan, yang masih dibawah pemerintahan Kendari/Konawe sampai pada terbentuknya Kabupaten Konawe Kepulauan.
Sumber:
Basrin Melamba, dkk. 2014. Penyusunan Sejarah Konawe Kepulauan. Kerjasama Bapedda & PM
dengan Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo
Basrin Melamba, S.Pd. M.A. (Dosen
Ilmu Sejarah dan Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Univ. Halu Oleo. HP:
081229452311. Email: melambabasrin@yahoo.com
|
Pada tahun 1980-an seorang Mahasiswa bernama Muh. Nasir
Abdullah pernah mengemukakan bahwa suatu saat pulau Wawonii akan mekar seperti
halnya pulau selayar di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini dikatakan oleh Muh.
Nasir Abdullah pada saat beliau kuliah di Ujung Pandang pada saat itu.
Tim perumus diketuai oleh Ir. Abdul
Halim tim inilah yang merupakan konseptor dalam dinamika perjuangan membentuk
Kabupaten Konae Kepulauan.
Setelah diadakan dua kali rapat tidak
ada tindak lanjut, maka dibentuk tim perumus yang menyusun proposal pemekaran.
Usaha lain dari tim pemekaran adalah menambah jumlah kecamatan karena pada saat
itu jumlah Kecamatan yang diusulkan untuk pemekaran berjumlah lima (5)
kecamatan. Pada tahun 2007 dilaksanakan pemekaran yaitu Kecamatan Wawonii
Tenggara dan Wawonii Timur laut hal ini untuk mengantisipasi perubahan PP 129
tahun 2000 yang mensyaratkan bahwa pemekaran wilayah Kabupaten cukup 5
Kecamatan pendukung, kemudian terbit penganti peraturan pemerintah nomor; 76.
Peran anggota DPRD Konawe dalam membentuk dua Kecamatan didukung oleh seperti
H. Ishak,…….. yang merupakan putra Wawonii.
Abd.
Abdurahman mengatakan bahwa “pulau Wawonii tidak butuh pemekaran tetapi
butuh pembangunan”. Rapat-rapat panitia pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan
sering dilaksanakan Aula Bappeda, kantor Tenaga Kerja dan transmigrasi.
Pra rancangan Undang-Undang Wawonii
masuk bersama Provinsi Buton Raya, dan Buton Tengah.
Sejak tahun 2012 berlokasi di jalan
Bunga Kamboja Kemaraya Kendari Barat sebuah Ruko dipakai sebagai kantor
penghubung
Nama :
Ibrahim Siddik
TTL :
Wawonii, 17 Sepetember 1978
Alamat :
Jl. Bahagia No. 32 Kelurahan Bonggoeya Kec. Wua-Wua.
Pekerjaan: Wirasasta
Keterangan: Tim 9 penggagas pemekaran.
Dan Panitia
Nama :
Ir. Abdul Halim, M.Si
TTL :
Lawey, 6 April 1965
Alamat :
Jl. Orinunggu Kelurahan Padaleu Kec. Kambu Kota Kendari.
Pekerjaan : Kepala Bappeda & PM Kab. Konawe Kepulauan.
Keterangan : Koordinator Tim Perumus Pemekaran Konkep
H. Sidik belajar Islam di Mekkah selama
40 tahun kemudian kembali dan bermukim di Pulau Tiga kemudian ia pindah di
Wawonii. Ia membangun Masjid pertama di Lansilowo.
Rapat
akbar menghasilkan konsensus yaitu; 1. Maklumat masyarakat pulau Wawonii dalam
rangka perjuangan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, 2. Nama Organisasi
perjuangan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, tugas dan tanggung jawab
panitia persiapan pembentukan kabupaten Konawe Kepulauan, 3. Tugas dan tanggung
jawab panitia persiapan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan.4. Penggalangan
dana dan pembentukan jaringan kerja.
Keputusan
Tim Formatur Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Wawonii nomor:
001/P3KW/II/2007 tertanggal 10 Februari 2007 tentang susunan panitia persiapan
pembentukan Kabupaten Wawonii penasehat Bupati Konawe, Ketua DPRD Konawe, unsur
Muspida, Ketua Drs. H. Muh. Nasir Abdullah, Wakil ketua Abdu. Rahman, S.Pd.,
M.Pd, Sekretaris Awaludin, Spd, M.Pd, Bendahara La Ode Ali Basiru, Wakil
Bendahara Ishak Asis, SE dilengkapi badan pekerja Muhammad taufik, SE, M.Si,
Perumus koordinator Ir. Abdul Halim,
Mediasi coordinator H. Ibrahim Kadir, SE. ditambah bidang-bidang yaitu bidang
Pemberdayaan Perempuan coordinator dra. Hj. Siti Marlina, hubungan Masyarakat
koordinator Zakaria Siddiq, Aksi koordinator Moh. Yakub Aziz Toarima, SH,
perlengkapan koordinator Syamsudin Damali, S.Sos, dan bidang penggalangan dana
koordinator Najamuddin, SE.
Berdasarkan
Surat Keputusan Panitia pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan nomor:
15/P3K3/IV/2007 tentang pembentukan tim Kerja yaitu Ketua H. M. Djabir T, BA,
Wakil Ketua Drs. Abdul Hasib Mulku, Sekretaris Ir. Abdul Halim, Musbahuddin
Siddiq, SH, dan ditambah 9 orang
anggota.
Panitia
yang dibentuk sebelumnya tidak berjalan efektif dan efisien maka panitia
mengadakan perubahan komposisi personalia panitia persiapan Pembentukan
Kabupaten hal ini sesuai surat nomor ; 52/P3KW/VI/2007 tertanggal, 25 Juni
2007.
Pada
tanggal 4 Juli 2007 melalui DPRD Kabupaten konawe mengeluarkan keputusan
tentang persetujuan pembentukan daerah Kabupaten Wawonii dalam wilayah
Pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara nomor: 09/DPRD/2007 yang
ditanda tangani oleh Ketua DPRD Kabupaten Konawe H. Abdul Samad, BA. Ini
melalui sidang paripurna hal ini tidak terlepas dari beberapa anggota DPRD
Konawe sala atau dapil Wawonii.
Pada
tanggal 1 Oktober 2007 Bupati Konawe melalui surat nomor: 559 tahun 2007
tentang persetujuan pembentukan daerah kabupaten konawe Kepulauan dalam wilayah
pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Yang ditindak lanjuti
dengan pembentukan tim kerja penelitian awal rencana pembentukan daerah
Kabupaten konawe Kepulauan dalam wilayah pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi
Sulawesi Tenggara, hal ini dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati Konawe
nomor: 558 tahun 2007.
Tanggal
1 Oktober 2007 Bupati Konawe mengirim
surat kepada gubernur Sultra dengan
surat nomor 125/2576 perihal penyampaian kelengkapan administrasi pembentukan
daerah otonomi baru. Surat tersebut mendapat respon positif Gubernur Sultra
pada saat itu H. Ali Mazi, SH.
Tanggal
6 November 2007 gubernur Sulawesi Tenggara H. Ali Mazi, SH bersurat kepada
pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara perihal permintaan persetujuan
pemekaran Kabupaten konawe nomor; 125/3952. Berisi antara lain cakupan ilayah
calon pemekaran terdiri 5 kecamatan yaitu; Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Timur, Wawonii Utara,
Wawonii Selatan, dan Wawonii Tengah. Tempat kedudukan di Wawonii, serta batasan
wilayah.
Pada
tanggal, 15 Desember 2007 usulan
pemekaran mendapat persetujuan oleh pimpinan DPRD provinsi Sultra melalui surat
nomor: 16 tahun 2007 yang ditanda tangani oleh pimpinan DPRD dalam hal ini
wakil ketua DPR Kadir Ole. Untuk kelengkapan administrasi Gubernur Sultra
membuat keputusan nomor: 565 tahun 2007 tentang pemberian bantuan dana awal
kepada pemerintah kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Konawe tertanggal 17 Desember 2007. Dan tanggal yang
sama sebagi bukti dukungan dan keseriusan Gubernur H. Ali Mazi, SH mengirim
surat kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta perihal usul pembentukan daerah
otonomi baru yang tertuang dalam surat nomor: 125/4480 tahun 2007.
Setelah
kelengkapan administrasi rampung maka berkas diantar ke Jakarta bagian
Sekretariat DPR RI dan Departemen Dalam Negeri.
Kabupaten Konawe Kepulauan masuk dalam agenda dari 40
daerah calon pemekaran. Wawoni masuk verifikasi dari 40 calon DPOD turun
menjadi 33, kemudian turun menjadi 25, kemudian menjadi 19 nama Kabupaten
pemekaran Konkep tetap ada.
Untuk
memperkokoh perjuangan dan mendukung pemekaran dan mengantisipasi poses
tersebut maka pada tanggal 28 Desember 2007 diadakan rapat di gedung Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Wua-wua, membahas beberapa langkah-langkah
dalam percepatan pemekaran Konawe Kepulauan.
Selanjutnya
setelah dinyatakan lolos verifikasi oleh
DPR RI dan Departemen dalam Negeri, dimana terdapat 19 calon DPOD yang
akan diadakan peninjauan atau masuk agenda pemekaran di Jakarta. Pada tahun
2008 datang rombongan anggota DPR RI dari Komisi II melakukan peninjaun
lokasi atau lapangan calon daerah
pemekaran, termasuk peninjauan calon lokasi ibu kota Kabupaten. Diantara
anggota DPRD yang hadir yaitu Hj. Wa Ode Nurhayati, SE, (dari Komisi II,
anggota DPR RI asal PAN), H. Kamarudin (anggota DPD RI) dan anggota dari Komisi
II DPR RI. Setelah tim dari DPR RI meninjau lapangan beberapa bulan kemudian
turun tim gabungan DPOTD melihat dan meninjau kondisi lapangan. Setelah mereka
pulang pada saat sidang disimpulkan bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan oleh DPR
RI dan DPOTD, Depdagri dinyatakan layak untuk menjadi Daerah Otonomi Baru atau
Kabupaten baru.
Pada bulan November 2011 tim dari pemerintah pusat
datang di pulau Wawonii. Tim tersebut bertugas untuk melakukan
klarifikasi antara usulan dengan kondisi lapangan. Tim DPOD (Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah) saat turun verifikasi administrasi langsung di wilayah
ini pada bulan November menyatakan di
hadapan warga Wawonii, bahwa Konawe Kepulauan sudah layak untuk dimekarkan
karena memenuhi syarat verifikasi administrasi. Verifikasi dianggap lengkap, maka Kabupaten Konawe
Kepulauan masuk tahap selanjutnya yaitu masuk dalam agenda sidang DPR RI
bersama beberapa calon DOB. Pra rancangan Undang-Undang Wawonii masuk bersama
Provinsi Buton Raya, dan Buton Tengah.
Pada
bulan Agustus 2012 Rancangan
Undang-Undang Pemekaran telah selesai. Tinggal menunggu jadwal waktu
pembahasan. Panitia pemekaran terus melakukan lobi-lobi ditingkat fraksi guna
memuluskan pengesahan draf UU pemekaran tersebut. Namun Kabupaten Konawe
Kepulauan tertunda pemekarannya pada
saat itu DOB di Sultra telah di syahkan yaitu Kabupaten Kolaka timur.
Pada
bulan Desember membentuk Tim yaitu Tim Panitia Khusus bertugas dalam
penggalangan dana, koordinasi dengan pemerintah Daerah, DPR RI, Mendagri.
Tetapi tim ini gagal tidak berhasil. Selanjutnya dibentuk tim fasilitator
mereka diberi rekomendasi yaitu Andi Lutfi, Amarullah, dan Ir. Abdul Halim.
Mereka bekerja sejak bulan Januari
hingga bulan Mei 2013 sampai dengan di syahkannya UU nomor: 13 tahun
2013.
Tanggal
6 April pembahasan pertama rancangan UU pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan.
Selanjutnya tanggal 12 April tahun 2013 rapat Paripurna pembahasan UU
pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan. Pada tanggal 11 Mei 2013 Undang-undang nomor
13 tahun 2013 disyahkannya Undang-Undang tersebut. Selanjutnya
tanggal 15 Mei UU nomor: 13 tahun 2013 resmi diundangkan berdasarkan
Lembaran Negara (LN) Nomor: 84 tahun 2013, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor: 5415 tahun 2013. Pasca di pengesahan dan diundangkannya masyarakat
Wawonii mengadakan syukuran bersama Bupati, Panitia pemekaran, tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan seluruh masyarakat Wawonii.
Setelah
melewati tahapan pengusulan calon pejabat Bupati Konawe Kepulauan, maka pada
tanggal 23 Oktober tahun 2013 diadakan pelatikan H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si, sebagai Pj. Bupati Konawe Kepulauan
pertama yang dilantik di Jakarta oleh
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
[1]
Disarikan dari tulisan Basrin
Melamba, dkk. Penyusunan Sejarah Konawe
Kepulauan. Bappeda & PM dan Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo.
Kendari: 2014.
[2] Mengenai
eksistensi to Rete ini dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
[3] Francis Fletcher
tahun 1854 The World Encompassed by Sir
Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with
an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[4] Wawancara Muh.
Firkan 25 Juli 2014. Lihat Firkan,
cacatan Sejarah Wawonii tanpa tahun belum terbit.
[5] Susanto Zuhdi, (1999), hlm. 141-1412.
[6] Francis Fletcher
tahun 1854 The World Encompassed by Sir
Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with
an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[7] Francis Fletcher
tahun 1854 The World Encompassed by Sir
Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with
an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[8] (Zuhdi, 1999: 32).
[9] Susanto Zuhdi,
1999, hlm. 7-8.
[10] Edwar L. Polinggomang, Perubahan
Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak, 2004), 193-194.
[11] Lihat Arsip surat-surat pemerintahan Onderafdeeling
Kendari Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Konawe.
[12] Andy Djufri 1992,
hlm. 7.
[13] Sumber: Arsip
Kabupaten Kendari, 1955.
[14] Tahun 1982 ibu
kota kabupaten Kendari dipindahkan dari kota Kendari Ke Unaaha oleh Bupati H.
Andrey Djufri, SH.
[15] Kantor Arsip
Daerah Prov. Sulawesi Tenggara.
[16] BAPD Sulsel Koleksi
Arsip, nomor: 557, hlm. 112.
[17] Andy Djufri 1992,
hlm. 7.
[18] Andry Djufri, Memori Bupati Kepala daerah TK.II Kendari,
1992, hlm. 8.
[19] Andry Djufri, Memori Bupati Kepala daerah TK.II Kendari,
1992, hlm. 9. Drs. H. Kaharudin Hamiasa
menduduki jabatan terakhir sebagai Sekretaris Daerah Kota Kendari.
[20] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
49 Tahun 1986
Tentang Pembentukan Kecamatan-Kecamatan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kendari, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kolaka, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Muna, Dan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Buton Dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara
Tentang Pembentukan Kecamatan-Kecamatan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kendari, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kolaka, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Muna, Dan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Buton Dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara
[21] Lihat Proposal
Pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan 2010.
[22] Sekarang Lokasi
Gedung KNPI telah dialihfungsikan menjadi Pusat Perbelajaan Lippo Plaza
Kendari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar