Minggu, 08 Mei 2016

Sejarah Wawonii

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN
Oleh: Basrin Melamba, S.Pd. M.A.
(Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UHO)

Periode Pra Integrasi
Pulau Wawonii telah dihuni oleh manusia sejak  zaman pra aksara hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs di beberapa gua di pulau ini. Di Wawonii sebelum terbentuknya tatanan politik berupa kerajaan Tradisional telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang dipimpin oleh Latungga.
Kawasan Konawe Kepulauan sebelum terintegrasi ke Konawe merupakan satu unit pemerintahan yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh. Hal ini ditandai dengan beberapa pusat pemukiman kuno yang sampai saat ini masih dapat disaksikan, misalnya Ladianta, Bobolio, Waworope, dan sebagainya. Tradisi lisan menuturkan bahwa cikal bakal awal pemerintahan bermula di Ladianta.  Wilayah Wawonii Konawe Kepulauan merupakan daerah rebutan antara tiga kerajaan besar yaitu Ternate, Buton, dan Konawe.
Pembentukan  Konawe Kepulauan merupakan kesinambungan pemerintahan sebelumnya secara administrasi berada di Kabupaten Kendari/Konawe bermula dari status sebagai sebuah wilayah pemerintahan Kecamatan Wawonii kemudian mekar menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete tahun 1986. Perkembangan pemerintahan Kecamatan,  dalam tulisan ini akan menjelaskan dinamika perkembangan pembentukan Kecamatan di Pulau Wawonii sebagai pendukung pemekaran.
Cikal-bakal pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan yaitu berasal dari sebuah wilayah bekas kerajaan Tangkombuno/Wawonii (sejak abad ke-13 hingga 1906), dilanjutkan wilayah kekuasaan distrik Wawonii dibawah Onderafdeeling Kendari, yaitu Distrik Wawonii (1906-1962) kemudian menjadi  Kecamatan yakni Kecamatan Wawonii (1963-2013) dan Waworete (1986), yang berkedudukan di Langara pada saat itu. Kecamatan ini dibentuk pada tahun 1964 bersamaan dengan dibentuknya pemerintahan ditingkat wilayah pada tingkat Kecamatan  di Kabupaten Kendari (1964-2004), Kabupaten Konawe (2004-2013) pada saat  itu.


Dari Humbuno (Buhuno) hingga terbentuknya Kerajaan
Cerita rakyat  folklore tentang humbuno atau buhuno sangat dikenal luas oleh masyarakat Wawonii dan bahkan dipercaya sebagai asal mula terbentuknya Tanah/pulau Wawonii. Selama ini frase tersebut merupakan nyanyian mbue-mbue dan cerita rakyat, yang dalam dunia ilmiah/akademik tentu saja masih merupakan atau menyisahkan suatu tanda tanya besar; apakah benar demikian, bahwa tanah /pulau Wawonii terbentuk sebuah karang berbentuk lonjong yang dalam bahasa Wawonii disebut “humbuno atau buhuno”.  Bahwa pulau Wawonii muncul menyerupai humbuno atau buhuno yang dapat dilompat oleh seekor ikan kemudian karang humbuno atau buhuno ini berkembang dan tumbuh hingga meluas dan membentuk gunung dan daratan. Masyarakat setempat meyakini bahwa puncak humbuno atau buhuno itu adalah sebuah bukit berada diatas benteng Tangkombuno.
Berdasarkan diskusi penulis dengan berbagai sumber di Wawonii kata humbuno atau buhuno dapat diartikan pucuk batu yang duduk diatas batu, yang dalam bahasa Wawonii yang mula muncul diatas permukaan air laut. Ada juga pendapat bahwa humbuno atau buhuno sebuah pucuk karang atau sebongkah batu yang muncul dari laut, yang kemudian berkembang luas. Dari sisi proses endogen dan agradasi, cerita ini mungkin benar, karena terjadinya proses pengangkatan pulau di dasar laut secara perlahan-lahan. Banyak pulau-pulau karang di bola bumi ini terutama di samudera Pasifik yang baru saja (hitungan ratusan tahun yang lalu) muncul ke permukaan laut akibat poses tersebut.
Belum  diketahui secara pasti asal usul dan awal kedatangan penduduk yang kini  menempati Kepulauan Wawonii. Untuk mendapatkan keterangan tentang itu diperlukan sumber-sumber sejarah yang relevan. Akan tetapi sampai sekarang khususnya sumber tertulis belum ada. Oleh karena itu, dalam kerangka studi ini akan digunakan sumber lisan atau oral tradition. Sumber dimaksud berupa tradisi lisan oral tradition (cerita rakyat) yang berkembang secara turun temurun, yang merupakan gambaran mental dan fakta sosial masyarakatnya.
Dalam catatan sejarah, persebaran umat manusia ke berbagai belahan dunia di dorong oleh keinginan mencari sumber-sumber kehidupan yang lebih baik dari tempat tinggal, (daerah asal) sebelumnya, atau karena terdesak oleh kelompok lain yang lebih kuat dan berkuasa. Dalam kaitan itu, upaya mencari daerah lain adalah alternatif untuk tetap bertahan dan melangsungkan kehidupan.  Untuk menjelaskan asal usul masyarakat Wawonii digunakan paradigma umum berkaitan dengan kondisional persebaran suku-suku bangsa di dunia termasuk di nusantara.
Melihat kondisi alamnya yang gersang, terbentuk oleh pegunungan karang ditengah Samudera, letaknya yang terpencil dan sempit (kecil) dapat dipastikan bahwa kedatangan penduduk kekepulauan itu bukan karena panggilan sadar untuk hidup dan menetap disana.  Namun tidak dapat dipastikan pula dari mana asal kedatangan mereka yang dapat dijadikan kerangka untuk mengetahui kondisi yang terjadi di daerah asalnya, sehingga tidak dapat diketahui latar persebaran mereka sampai akhirnya menempati Kepulauan Wawonii.
Pulau Wawonii merupakan pertemuan berbagai ras yaitu Ras Mongoloid, ras Austroloid,  dan Negroid. Pulau ini juga merupakan pertemuan beberapa etnik di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah seperti: Wawonii, To Rete, to Bungku, Tolaki, Kulisusu (ereke) Buton, Menui, Ternate, dan sebagainya. Akibat pertemuan etnik di Wawonii terdapat keragaman bahasa berbeda-beda termasuk dialek, serta adat istiadat yang berbeda pulau. Gelombang pertemuan manusia terjadi dipulau ini, umur peradaban manusia di pulau ini belum didapatkan data akurat masih butuh penelitian dan pengujian arkeologis dengan cara uji carbon C 14 atau statifigrafis untuk menentukan umur benda di beberapa situs gua yang ada di pulau Wawonii.
Ditinjau dari kedudukan geografisnya, daerah ini merupakan penghubung antara daerah-daerah disekitarnya, dan telah terintegrasi kedalam jaringan pelayaran dan perdagangan maritim nusantara sejak ratusan tahun silam.  Kedekatan geografi dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menjelaskan asal usul masyarakatnya.  Dalam konteks ini, kerajaan Konawe adalah daerah yang paling dekat dengan kepulauan ini.
Menurut tinggalan arkeologis bahwa pulau ini pertama kali dihuni oleh manusia yang tinggal di gua-gua atau ceruk.  Mereka ini masih hidup nomaden dan memanfaatkan alam untuk bahan makanannya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya mereka hidup menetap dan melaksanakan pertanian secara tradisional.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal mula penduduk yang menghuni daerah ini. Pertama hipotesa luar, bahwa menurut tradisi lisan, nenek moyang orang Wawonii berasal dari daratan Sulawesi Tenggara tepatnya di bagian kampung  Lasolo dan Soropia (mereka ini menyebut orang Torete).[2] Terdapat juga versi bahasa sebagian etnik yang menghuni pulau ini berasal dari  daratan Pulau Buton bagian Utara di kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak ratusan tahun yang lalu. Tidak jelas benar darimana dan kapan mereka mulai menempati pulau ini. Mereka menganggap sebagai penduduk asli di Pulau Wawonii, dan merupakan suatu etnik bangsa tersendiri yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda dari etnik-etnik bangsa lainnya di nusantara dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat versi bahwa penemu pulau Wawonii ini membawa rombongan manusia berjumlah 40 orang atau patombulo bumbunga. Sebagai simbol bahwa mereka bermukim ditempat ini maka mereka menanam sepohon kayu, yang disebut kayu anta, dan mereka memasang batu tungku (ladi). Hingga sekarang masih kita kenal toponimi kampung bernama Ladianta. Pimpinan rombongan ini melakukan penjelajahan pulau ini. Sebagai awal pemukiman mereka pimpinannya membuat rumah yang disebut laika atau raha. Kemudian mengatur pola pemukiman penduduk.

Zaman Kerajaan Tradisional
Kerajaan Wawonii menurut sumber luar seperti Portugis (1724), Belanda (1831/1885), disebut  Boboni dan Wowoni. Hal ini dijelaskan dalam sebuah sumber bahwa di sepanjang pantai Tombuku (Bungku) terdapat banyak pulau karang yang menghasilkan banyak tripang dan termasuk wilayah kerajaan. Hal itu yang terpenting adalah: dari selatan Boboni (Baca: Wawoni’i) yang menghasilkan beras merah,  dan beras putih, rotan, dan Kelapa. Disana kita menemukan keladi dan buah-buahan dalam jumlah besar, seperti juga kerbau, dan kambing.[3]
Menurut sumber lokal  berupa tradisi lisan oral tradition bahwa manusia yang mula-mula mendiami pulau ini adalah bernama Latungga. Pada awalnya menurut kepercayaan masyarakat bahwa pulau ini awalnya berbentuk bukit kemudian melebar seiring dengan semakin turunnya permukaan laut atau pulau ini muncul dari permukaan laut. Latungga ini awalnya  mendiami sebuah bukit yang disebut bukit Tangkombuno. Evidensi atau bukti peninggalan pemukiman kuno ditempat ini masih dapat kita saksikan secara arkeologis. Sekelompok manusia turun di pulau buhuno atau bukit, nama lain Tangkombuno. Mereka bermukim dengan mengelompok sebanyak 70 kepala keluarga disekitar bukit Tangkombuno. Pimpinan mereka sebut pinoko motua i (orang yang dituakan), pada suatu saat Latungga berinisiatif mengangkat seorang pemimpin yang disebut raja atau Mokole, maka berkumpulah pemuka masyarakat dan berhasil memilih 7 orang yang bakal menjadi raja atau pemimpin. Adapun ketujuh orang yang dimaksud yaitu: Batu, Kamina, Burane, Sangke, Mente, Mbatu, dan Sigala.[4] Mereka menemukan seorang bayi, bayi tersebut tumbuh dan besar kemudian Latungga dan masyarakat mengangkat sebagai raja dengan nama Mokole Kobimoa sebagai nama bangsawannya. Kobimoa juga diberi gelar Paapu artinya yang dipertuan agung.
Pada masa pemerintahan La Buke terjadi peristiwa di Wawonii, pertama adanya perlawanan Kakiali yang mendapat bantuan orang Makassar dan orang Butun di  Wawani  (Wawonii), Hitu terhadap VOC pada tahun 1634. Peristiwa yang akhirnya dapat ditumpas itu, terdapat 30 orang Butun pendukung perlawanan.  Peristiwa perampokan dan pembunuhan awak perahu (fluit)  Velzen pada Januari 1635, yang terdampar di Pulau Wawonii, nakhoda perahu itu, Daniel van Vliest bersama dengan enam orang awaknya pergi ke Butun untuk meminta pertolongan kepada Sultan. Tindakan ini didasarkan atas isi kontrak Butun-VOC yang telah ditanda tangani. [5]
Kerajaan Tangkombuno/Wawonii memiliki sistem atau struktur organisasi pemerintahannya sebagai berikut:
1.  Lakino, bertindak sebagai kepala pemerintahan atau pemegang tampuk kekuasaan dalam kerajaan.
2.  Kapala kampo (baca kampung) adalah pembantu Lakino dalam menjalankan roda pemerintahan di wilayah kekuasaannya masing-masing yang telah ditentukan Lakino. Jabatan kapala kampo ini identik dengan perdana menteri, dan dalam badan sara (lembaga adat) kedudukannya sebagai ketua badan Sara.
3.  Kapita, adalah sebagai pemimpin angkatan perang dan dalam badan Sara (lembaga adat) kedudukannya sebagai anggota biasa.
4.  Bonto, adalah sebagai pemimpin angkatan perang dan dalam badan sara (lembaga adat) kedudukannya sebagai anggota  biasa.
5.  Sedangkan lembaga sara atau lembaga adat adalah identik dengan badan legislatif.
Struktur Kerajaan Wawonii

MOKOLE/LAKINO
KAPALA KAMPO
KAPITA
BONTO
SARA/ADAT
 








Kerajaan Wawonii menurut sumber luar disebut Boboni dan Wowoni. Hal ini dijelaskan dalam sebuah sumber bahwa di sepanjang pantai Tombuku (Bungku) terdapat banyak pulau karang yang menghasilkan banyak tripang dan termasuk wilayah kerajaan. Hal itu yang terpenting adalah: dari selatan Boboni (Baca: Wawoni’i) yang menghasilkan beras merah  dan beras putih, rotan, dan kelapa. Disana kita menemukan keladi dan buah-buahan dalam jumlah besar, seperti juga kerbau, dan kambing.[6]
Pulau Menui dan Wawonii dalam arsip dan dokumen Belanda biasa disebut dengan istilah “Manui dan Boboni atau Wowoni”. Selain itu pulau Boboni (Wawonii) juga dihuni yang tidak saya ketahui pastinya. Jumlah mereka diduga sangat banyak karena dilaporkan bahwa pulau itu memiliki kekayaan tanaman dan buah-buahan, kerbau, kambing sementara selanjutnya beras meras dan hitam, rotan, dan kelapa juga disetorkan. Juga pulau Menui (tetapi yang tidak saya sebutkan pada peta mungkin seperti Manui), menurut Tuan Bosscher dihuni dan menyetor hasil-hasil yang sama seperti Boboni. [7] Data tersebut menunjukan bahwa pulau Wawonii juga disebut sebagai pulau Boboni yang selalu menyerahkan upeti kepada Raja Bungku (Boengkoe). Wilayah Menui ditempatkan penguasa dengan jabatan Kapitan oleh Raja Bungku yang ditempatkan pertama adalah Kapitan Satofa Bin Laupeke yang nantinya menjadi Raja Bungku.[8]
Kerajaan atau Kesultanan Ternate selalu mengaknesasi Kulisusu, dan pulau Wawonii yang dianggap sebagai wilayah bagian Utara kekuasaan Kesultanan Buton.[9] Ada satu pulau lagi yang diakui sebagai wilayah kekuasaan Butun yakni Wowoni, terletak disebelah utara pulau Buton. Akan tetapi pulau ini masih menjadi pertikaian antara Butun dan Ternate sampai pertengahan abad ke-19. Daerah ini menjadi daerah rebutan dan hegemoni beberapa kerajaan di Kawasan Timur diantaranya kerajaan Konawe, Kerajaan Ternate (Bungku), Kerajaan /Kesultanan Buton, dan Kerajaan Laiwoei.  
Pada paru pertengahan abad ke-19 telah terjadi perlawanan terhadap  Pemerintahan Hindia Belanda oleh  Mokole  Barala yang memerintah sejak tahun  1820-1901 . Untuk  melakukan perlawanan Palari mengerahkan sebanyak 300-an pasukannya mengempur pasukan Belanda. Memiliki struktur pasukannya yang bertindak sebagai panglima  bernama Labawo, dibantu oleh Muh. Gazali Taslim.   Perlawanannya dilakukan di laut dengan menggunakan darangka (perahu). Bukti perlawanan Mokole Palari di dekat tanjung tempat mendaratnya  puu tubu Langara.  Selain itu Mokole Barala menghadapi gangguan perompak bajak laut Tobelo, dan berhasil mengusir Tobelo. Pada tahun 1870 masa pemerintahan beliau Kerajaan Wawonii berhenti menyetor pajak kepada Kesultanan Buton. (Encylopedia van Nederslands Indie, 1917, 1936)
Pada tahun 1870 Wawonii berhenti menyerahkan pajak atau upeti pada Kesultanan Buton, pada tanggal 15 April  1914 Sultan Buton melepas Wawonii dan resmi bergabung dengan Onderafdeeling Kandari/Laiwoei atau Konawe. Konawe Kepulauan bergabung dalam pemerintahan kabupaten Kendari 1964-2003 dan 2003 sampai 2013. Tahun 1917 resmi bergabung dengan Konawe (Onderafdeeling Kendari) atas usaha yang dilakukan oleh Haji Laasamana atau Tata dan Kepala Distrik Wawonii H. Muhammad Gazali gelar Laki Sabu.

Pemerintahan  Distrik Wawonii
Daerah ini masuk dalam pemerintahan Gouvernement Celebes en onderhoorigheden atau Gubernur Sulawesi dan daerah taklukannya. Terdiri dari beberapa wilayah Afdeeling. Setiap afdeeling dijabat  oleh seorang Asisten Residen (asistent resident). Setiap Asisten Residen membawahi beberapa  kontrolir (controleur) yang tampil menjadi kepala pemerintahan pada ”cabang pemerintahan” (Onderafdeeling). Setiap Onderafdeeling terbagi pula atas beberapa distrik (district) dan setiap distrik dikepalai oleh seorang regen (regent). Setiap regen membawahi beberapa kepala kampung.[10] Setiap bagian pemerintahan Onderafdeeling di bagi lagi ke dalam beberapa wilayah administratif pemerintahan yang disebut dengan istilah ”distrik”. Penguasa atas distrik dipegang oleh seorang pejabat pemerintah bumiputra.
Bestuur Afdeling  van Oost Celebes (Afdeling Sulawesi Timur) kemudian berubah menjadi Afdeling Buton en Laiwui  terdiri dari tiga wilayah yaitu: Onderafdeling Buton, Onderafdeling Muna (Wuna/Moena), Onderafdeling Kendari, dan Onderafdeeling Toekang Besi Eiland. Onderafdeeling Kendari ini dibagi beberapa daerah distrik yang masing-masing membawahi derdistrik. Salah satunya adalah Distrik Wawonii yang berkedudukan di Munse yang dipimpin oleh Kepala Distrik.
Dalam perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan lokal sudah menyebutkan bahwa Wawonii masuk dalam kekuasaan kerajaan Konawe/ Laiwoi. Berikut isi pasal 2 disebutkan: Bangsa Belanda mengakui daerah kekuasaan Raja Laiwoi: bagian utara sampai To Bungku, dibagian barat sampai Luwu, termasuk daratan Sulawesi yang berbatasan dengan Buton, bagian selatan sampai Tiworo (Tijoro), dan bagian Timur sampai dengan Pulau Wawonii, Saponda, Madilau, Saponda Madora, Dange-Dangeang, Pulau hari, Cempeda, dan Tomowu. Diakui pula etnik-etnik bangsa yang mendiami pulau-pualu tersebut kedaulatannya.
Kedudukan Wawonii sudah berdiri sendiri menjadi sebuah Distrik sudah tidak bergabung ke Distrik Ranomeeto seperti masa sebelumnya. Distrik Wawonii memiliki wilayah pemerintahan tingkat kampung pada saat itu yang dipimpin oleh kepala-kepala kampung. Adapun struktur pengurus kampung adalah sebagai berikut:

No
Wilayah
Kampung
Keterangan
1
Munse
Kapala  Lebo



Kapala  Mata Bunga



Kapala  Tekonea



Kapala  Puulara

2
Ladianta
Kapala  Palingi



Kapala Bungku-Bungku



Kapala  Noko



…..?

3.
Lansilowo
Kapala  Labeau



Kapala  Lomba one



Kapala Labisa-bisa

4
Langara
Kapala Langara laut (Pemukiman Bajo)



Langara Darat (Pemukiman Tolaki Wawonii)



Kapala  Batumea

5.
Lampeapi
Kapala Wungkolo



Kapala Lango-lango



Kapala Campeda

6
Wawouso
Kapala Bobolio



Kapala Lawei



Kapala Roko-Roko

Sumber; Diolah dari berbagai sumber.
Setiap distrik di kepalai oleh seorang Kepala Distrik (Kapala Distere) dibantu seorang juru tulis. Pada wilayah distrik  Wawoni’i pada saat itu  terdiri atas beberapa kampung yaitu Lansilowo, Lampeapi, Langara, Munse, dan Ladianta.[11]  Pada wilayah kampung di Wawonii ini masing-masing di pimpin oleh Kepala Kampung. Setelah adanya perubahan sistem pemerintahan dari status Lakino ke status Distrik, dimana pulau Wawonii termasuk satu distrik yang terdiri dari enam (6) kampung gabungan yaitu: (1) kampung gabungan Ladianta; (2) kampung gabungan Munse; (3) kampung gabungan Wawouso; (4) kampung gabungan Lamongupa; (5) kampung gabungan Langara; (6) kampung gabungan Lansilowo. Keenam kampung inilah yang menjadi Desa setelah berakhirnya sistem distrik.

Berikut nama-nama kepala distrik di Wawonii
No
Nama
Periode
Keterangan
1.
H. Muhammad  Gazali
1901-1906
Kepala Distrik I
2.
Lagansa
1906
Kepala Distrik II menjadi kepala distrik hanya 8 jam ia mengundurkan diri
3.
H. Muhammad  Gazali
1906-1910
Kepala Distik III (kembali diangkat karena Lagansa mengundurkan diri)
4.
H. Ismail
1910-1950
Kepala  Distrik IV
5.
Nuhun
1950-1962
Kepala Distrik V
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Periode Masa Pemerintahan Kabupaten Kendari
Pada tahun 1961 dengan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara tanggal 19 Desember 1961, Nomor : 2607/A/1961, tentang Perubahan Distrik menjadi Kecamatan yang di  dalamnya termasuk Distrik Wawonii. Dengan demikian pulau Wawonii sejak tahun 1961 telah terbentuk menjadi satu Kecamatan dengan ibukota kecamatannya di Lampeapi dan sejak itu pula dari 6 kampung gabungan tersebut di mekarkan menjadi 24 desa. Pada tanggal, 17 Agustus 1962 diadakan pengibaran pertama bendera Merah Putih di Munse, yang dihadiri oleh Camat, Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Kendari, tokoh masyarakat, tokoh adat, unsur pemuda, organisasi masyarakat, dan unsur masyarakat Wawonii.
Kabupaten   Kendari pada saat itu  terbagi atas 4 wilayah koordinator. Kecamatan  Wawonii masuk dalam wilayah koordinator Kecamatan Kendari berkedudukan di Kota Kendari. Jumlah kecamatan Kabupaten Tingkat II  Kendari  sampai tahun 1982  ialah 15 Kecamatan dan 7 perwakilan Kecamatan. Ketujuh perwakilan Kecamatan termasuk Wawonii yaitu Waworete dibentuk berdasarkan  surat Keputusan  Gubernur Sultra Nomor : 45 tahun 1979 tanggal 23 Maret 1979 dan setelah diusulkan oleh Gubernur Sultra kepada Mentri Dalam Negeri maka dengan peraturan pemerintah Nomor: 49/1986 tanggal 15 Desember 1986, enam dari tujuh perwakilan Kecamatan defenitif dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari, sedangkan perwakilan kecamatan Lainea di Kolono belum karena masalah administrasi.[12]
Melihat kemajuan pembangunan di Wawonii dalam dinamika pembangunan pada saat itu, maka pada tahun 1987 dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara tentang Pemekaran Kecamatan, maka Kecamatan Wawonii dimekarkan menjadi 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Wawonii terdiri 10 buah desa dengan ibu kota kecamatannya Langara Iwawo, dan Kecamatan Waworete terdiri dari 14 desa dengan ibukota kecamatannya Munse.

Pemerintahan Kecamatan Wawonii (1962-1986)
Sebelum terbentuknya Kecamatan Wawonii,  dikenal dengan sistem pemerintahan distrik. Berturut-turut memerintah Kepala distrik Haji Muhammad Gazali  digelar Laki Sabu (artinya kepala/pimpinan yang  diturunkan). Pada pemerintahan Hindia Belanda yang bertindak sebagai Lakina Wawonii Haji Ismail, dilanjutkan oleh Nuhun dengan status kepala distrik sampai tahun 1959 dan berakhir tahun itu juga seiring dihapuskannya Swapraja. Pada saat itu Swapraja Kendari diubah menjadi Kawedanan atau Daerah Swatantra DASWATI TK. II Kendari wilayahnya termasuk Wawonii.[13]  Secara resmi Kecamatan Wawonii  terbentuk sejak tanggal, 27 April 1964. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 2/1964 jo. UU. nomor. 13/1964, tentang pembentukan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Pada saat itu Sulawesi Tenggara terbentuk menjadi Kabupaten Kendari. Pada saat terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 40 Kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Wawonii.
Pada tahun 1962 ibu kota dipindahkan dari Kampung Lampeapi  ke Kampung Langara dengan pertimbangan pada saat itu daerah ini mudah dijangkau, dekat dengan ibu kota Kendari sebagai ibu kota Kabupaten Kendari pada saat itu.[14] Selain itu  masalah sarana dan prasarana. Kampung Lampeapi salah satu pemukiman tua di daerah ini. Lampeapi berarti sungai dan kayu api, atau sungai yang dipinggirnya telah ditumbuhi oleh salah satu jenis kayu oleh penduduk dalam bahasa lokal menyebutnya  peapi.
Pada tahun 1965 wilayah Kecamatan Wawonii yang sebelumnya hanya terdiri dari 6 desa ditambah menjadi 10 desa atas usul Camat Wawonii hal ini sesuai surat permohonan  dan disetujui oleh Bupati Kendari Drs. H. Abdullah Silondae. Kecamatan Wawonii  dari Kabupaten Dati II Kendari terdiri dari 10 desa dan 1 Kelurahan. Pada perkembangan selanjutnya hingga tahun 1986 jumlah desa di Kecamatan Wawonii sebanyak 22 desa 2 kelurahan. Pada tahun 1986 dimekarkan menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete. Pembentukan Kecamatan Waworete sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor: 49 tahun 1986 tentang pembentukan Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Dati II Kendari. Kecamatan Waworete pada saat itu terdiri dari 13 desa tambah 1 (satu) Kelurahan.

Sejarah Kecamatan
Pembentukan  Konawe Kepulauan merupakan kesinambungan pemerintahan sebelumnya secara administrasi berada di Kabupaten Kendari/Konawe bermula dari status sebagai sebuah wilayah pemerintahan Kecamatan Wawonii kemudian mekar menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete tahun 1986. Perkembangan pemerintahan Kecamatan,  dalam tulisan ini akan menjelaskan dinamika perkembangan pembentukan Kecamatan di Pulau Wawonii sebagai pendukung pemekaran.
Cikal-bakal pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan yaitu berasal dari sebuah wilayah bekas kerajaan Tangkombuno/Wawonii (sejak abad ke-13 hingga 1906), dilanjutkan wilayah kekuasaan distrik Wawonii di Onderafdeeling Kendari, yaitu Distrik Wawonii (1906-1962) kemudian menjadi  Kecamatan yakni Kecamatan Wawonii (1963-2013) dan Waworete (1986), yang berkedudukan di Langara pada saat itu. Kecamatan ini dibentuk pada tahun 1964 bersamaan dengan dibentuknya wilayah pada tingkat Kecamatan  di Kabupaten Kendari (1964-2004), Kabupaten Konawe (2004-2013) pada saat  itu.
Pada tahun 1963 jumlah kampung atau kepala kampung gabungan yang ada di pulau Wawonii berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kendari tanggal 1 Mei 1963 nomor: 21/1963, berjumlah 7 (tujuh) Kepala kampung masing-masing yaitu:

No
Nama Kepala Kampung
Pangkat/Djabatan
Nama Desa
Djumlah/Djiwa
1
Salopo
Kepala Desa
Wawouso
1.355
2
Abd. Halim
Sama
Lampeapi
1.312
3
H. Abdullah
Sama
Langara
1.932
4
Surura
Sama
Lansilowo
2.198
5
Muh. Muridun
Sama
Ladianta
1.570
6
Muh. Sirata
Sama
Munse
1.625
7
Haji Rasido
Sama
Laonti
851

Djumlah


10.855
Sumber: Arsip Kabupaten Kendari 1963 di Badan Perpustakaan Arsip Daerah Sulawesi Tenggara
Pada perkembangannya wilayah Kecamatan Wawonii dari 7 (tujuh) menjadi 6 (enam) karena kampung Laonti masuk Kecamatan Moramo Kabupaten Kendari bagian selatan pada saat itu, hal ini sesuai keputusan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kendari tanggal, 2 Juli 1964 nomor: pemb. 1/1/900.[15] Perkembangan selanjutnya pada tahun 1964 Kecamatan Wawonii dibentuk seiring dengan perubahan dari Distrik menjadi Kecamatan. Pada tahun 1965 terjadi pemekaran wilayah hal ini sesuai usul Pemetjahan Desa dalam wilajah Ketjamatan Wawonii dari enam (6) Desa menjadi sepuluh (10) Desa pengangkatan kepala/anggota pamong desa baru sesuai surat Kepala Kecamatan Wawonii pada saat itu Muh. Kasim Gama nomor: Pemb. 1/2/1/Rah/1965. Tahun 1965 beberapa desa dimekarkan atau terjadi penambahan hal ini berdasarkan surat Kepala Kecamatan Wawonii surat tanggal, 29 Desember 1965 tentang usul Kecamatan desa-desa dalam wilayah Kecamatan Wawonii dari 6 (enam) desa menjadi 10 (sepuluh) desa dan pengangkatan kepala/anggota pamong Desa baru.
Camat pertama di Kecamatan Wawonii dijabat oleh Moh. Rasyid Kende, kemudian dilanjutkan oleh Asis Musu, karena kondisi kesehatan beliau Asis Musu maka Bupati Kendari menunjuk saudara Letda A.B. Djas Daut, kemudian pada tahun itu juga ia dibebas tugaskan karena mengalami sakit, proses pergantian beliau sesuai surat keputusan Nomor; 38/IV/1968 tanggal 12 Juni 1968 tentang pembebasan selaku pelaksana tugas Kepala Kecamatan Wawonii, selanjut ia digantikan camat baru Sikala pidani  sejak tahun 1968. Tahun 1969 terjadi lagi pemekaran wilayah  desa hal ini sesuai Surat Bupati Kepala Daerah melalui Kepala Badan Pemerintahan dan Desa, tertanggal 13 Oktober 1969 tentang Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kendari tanggal 2 Oktober 1969 nomor: 61/I/KDH/69 tentang pengangkatan kepala-kepala desa yang baru terbentuk dalam Kecamatan Wawonii.[16]
Pada tahun 1986 Kecamatan Wawonii dimekarkan menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Waworete. Ibu Kota Waworete ditempatkan di Munse. Kecamatan Wawonii pada saat itu terdiri dari 10 desa dengan luas wilayah Kecamatan 203,80 km2 dan jumlah penduduk tahun 1993 atau sekitar 20 tahun yang lalu sebelum mekar yaitu mencapai 11.344 jiwa atau kepadatan penduduknya 56 jiwa/km2. Jumlah Kecamatan di  Kabupaten Tingkat II  Kendari  sampai tahun 1982  ialah 15 Kecamatan dan 7 perwakilan Kecamatan. Ketujuh perwakilan Kecamatan termasuk Wawonii yaitu Waworete dibentuk berdasarkan  surat Keputusan  Gubernur Sultra Nomor : 45 tahun 1979 tanggal 23 Maret 1979 dan setelah diusulkan oleh  Gubernur Sultra kepada Menteri Dalam Negeri maka dengan peraturan pemerintah Nomor: 49/1986 tanggal 15 Desember 1986, enam dari tujuh perwakilan Kecamatan defenitif dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari, sedangkan perwakilan Kecamatan Lainea di kolono belum karena masalah administrasi.[17]
Namun dengan demikian meskipun enam Kecamatan yang baru defenitif tersebut belum diresmikan oleh pejabat yang berwenang maka sampai tahun 1987 ini jumlah Kecamatan di Kabupaten Kendari menjadi 21 dengan nama dan pusat pemerintahan yaitu: Wawonii dengan pusat pemerintahan di Langara, dan Kecamatan Waworete dengan pusat pemerintahan di Munse. Berikut nama-nama Desa di Kecamatan Waworete pada tahun 1987 yaitu: Kelurahan Munse, Desa Lansilowo, Desa Palingi, Desa Mawa, Desa Noko, Desa Ladianta, Desa dimba, Desa Lebo, Desa Tekonea, Desa Mosolo, Desa Poolara, Desa Roko-Roko, Desa Bangun Mekar,  dan Desa Nambo Jaya.[18]
Pada tahun 1982 terjadi pergantian kepala Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kendari salah satunya Kecamatan Wawonii yaitu dari Drs. M. Saada Taslim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor: 411/1982  kemudian digantikan oleh Drs. Kaharuddin Hamiaso sesuai surat keputusan Gubernur nomor: 84/1985 tanggal 8-4-1986.[19]  Pada tahun 1986 terjadi pemekaran Kecamatan Wawonii dibagi menjadi dua yaitu Kecamatan Waworete sebagai pemecahan dari Kecamatan induk Wawonii. Dibentuknya Kecamatan Waworete yang semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Wawonii, maka wilayah Kecamatan Wawowi dikurangi dengan wilayah Kecamatan Waworete. Pusat Pemerintahan Kecamatan Waworete berada di Kelurahan Munse.[20] Berikut nama-nama  yang pernah menjadi kepala distrik dan camat di Wawonii yaitu  sebagai berikut:
No
Nama
Periode
Keterangan
1.
H. Muhammad  Gazali
1901-1906
Mokole/Kepala Distrik I
2.
Lagansa
1906
Kepala Distrik II
3.
H. Muhammad  Gazali
1906-1910
Kepala Distik III (kembali diangkat karena Lagansa mengundurkan diri)
4.
H. Ismail
1910-1950

5.
Nuhun
1950-1962
Berakhirnya Distrik
1
H. Moh. Rasyid Kende
1967-1968
(asal Bungku)
2
Asis Musu
1968-1968

3
Sikala Pidani
1968
(Abeli)
4
Letda A.B. Djas Daut
12 Juni 1968
Pelaksana
4
Laris H.M. Rasyid
1969

5
Andi Baso Sam Daud
1970

6
Bio Yusuf
1971
Anakia turunan Tua Hadi
7
Kasim Gama
1973
Wawonii
8
Imbuko Talle
1974
Bajo Bugis
9
Arifuddin Djohansyah, BA
1978
Wawotobi
10
Drs. H. Melamba Tombili
1980
Pohara/Sampara
11
Mokke
1983
Abuki
12
Drs. Muh. Saada Taslim
1984
Wawotobi
13
Drs. A. Kaharudin Hamiaso
1985
Wawotobi
14
Drs. Abd. Harif Mangidi
1993
Konawe selatan
15
Drs. Raduni Bahmid


16
Idris, S.Pd.


17
Drs. Hafid Mangidi


18
Drs. H. Harsin

Wawonii Barat
19
Alimudin, S.Pd.

Wawonii Barat
20
Bahtun Nasar, S.Sos. M.Si

Wawonii Barat
21
Suparman Lambie, SE, M.Si

Wawonii Barat
Sumber:  Diolah dari berbagai sumber; Memorie serah terima jabatan Bupati Kendari tahun 1972-2013, Arsip Kabupaten Kendari, dan Arsip Kecamatan Wawonii diolah dari berbagai tahun 1965-2013.

Pemekaran Konawe Kepulauan
Istilah Konawe Kepulauan, pada tahun 2014 Kecamatan yang meliputi Wawonii Barat, Wawonii Selatan, Wawonii Selatan, Wawonii Tenggara, Wawonii Utara, Wawonii Tengah, Wawonii Timur, Wawonii Timur Laut merupakan istilah administratif pembagian pemerintahan akibat proses pemekaran, tetapi pada dasarnya secara historis dan kewilayahan daerah ini dikenal Wawonii (sebelumnya menjadi Distrik Wawonii yang di pimpin  oleh Kepala Distrik) yang merupakan bekas/wilayah kerajaan Konawe. Wilayah ini dihuni oleh etnik Wawonii yang memiliki unsur-unsur kebudayaan tersendiri dan beberapa etnis yang sudah lama menghuni pulau ini seperti Torete, Tolaki, Bungku, Tolaki, dan sebagainya.
Menyingkapi masalah yang dihadapi masyarakat Wawonii, maka sejak tahun 1970-an muncul kelompok-kelompok diskusi berupa wacana pembentukan pemekaran Kabupaten yang berdiri sendiri. Diskusi rencana pemekaran mulai nampak sejak tahun 1975 dalam aktivitas sosial pertemuan dalam acara perkawinan, syukuran maupun melibatkan orang banyak, baik  tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, cerdik pandai, pemuda, pelajar, dan mahasiswa  di Wawonii.
Emrio ide atau gagasan pembentukan Kabupaten di wilayah ini muncul sejak tahun 1975. Kemudian upaya pemekaran wilayah di Kabupaten  Konawe dan Konawe Kepulauan bagian utara di latar belakangi  selain pertimbangan historis juga diawali oleh  didirikannya kerukunan keluarga Asera, Lasolo, Wawoni’i, dan Waworete dengan akronim Asowowo terbentuk pada 11 September 1994. Jumlah anggota arisan sekitar 70 orang yang berdiam di Kota Kendari dan sekitarnya.
Ide atau wacana pemekaran atau keinginan untuk berpisah atau mekar dari Kabupaten induk Konawe, diwujudkan dalam bentuk gagasan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan sudah mengemuka  pada awal  dekade tahun 2000-an. Paling tidak nampak melalui diskusi-diskusi non formal dikalangan tokoh masyarakat, pemuda pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Wawonii, baik yang ada di Pulau Wawonii, Kota Kendari, maupun yang sedang melanjutkan pendidikan ke beberapa perguruan tinggi di luar daerah. Wacana pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan tersebut, selain diilhami oleh eksistensi Kabupaten  Selayar  Provinsi  Sulawesi Selatan yang memiliki karakteristik wilayah yang menyerupai dengan Pulau Wawonii, juga dikarenakan oleh adanya pemindahan ibu kota Kabupaten Kendari (Kabupaten Konawe) tahun 1982 dari Kota Kendari ke Unaaha.[21]
Keinginan segenap komponen masyarakat untuk mewujudkan Wawonii sebagai kabupaten baru semakin menguat, ketika terjadi reformasi pada tahun 1998 yang kemudian melahirkan era otonomi daerah, ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999  tentang perimbangan keungan antara pemerintah pusat dan daerah. Nmun demikian, oleh karena kondisi pulau Wawonii pada awal pelaksanaan otonomi daerah belum memungkinkan menjadi daerah otonom baru, terutama jika dilihat dari sisi persyaratan administrasi pemerintahan, maka upaya maksimal yang dapat dilakukan adalah memekarkan wilayah adminstrasi Desa/Kelurahan dan Kecamatan yang telah memenuhi syarat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain melakukan pemekaran wilayah, juga ada upaya untuk bergabung ke dalam wilayah daerah otonom Kota Kendari yang mencuat pada kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002. Upaya masyarakat Wawonii untuk bergabung dengan Kota Kendari tersebut, tidak hanya sekedar dipicu oleh keinginan masyarakat Wawonii untuk memperoleh kemudahan melalui pendekatan pelayanan dengan pusat pemerintahan dalam berbagai hal, tetapi juga dimaksudkan sebagai langkah awal untuk menjadikan Wawonii sebagai daerah otonom baru. Tindakan ini rasional bahwa jarak antara pulau Wawonii sangat dekat dengan Kota Kendari, jika dibandingkan dengan kota Unaaha, untuk mencapai kota ini penduduk harus menempuh jalan darat.
Diawali dengan diskusi-diskusi intensif yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat yang berasal dari Pulau Wawonii, baik yang ada di Pulau Wawonii, Kota Kendari maupun yang ada di luar daerah, kemudian melahirkan beberapa kesepakatan. Dalam perkembangannya, pada akhir tahun 2006 disepakati untuk menyelenggarakan  “Rapat Akbar” yang direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2007. Rencana pelaksanaan rapat  Akbar masyarakat dari Pulau Wawonii tersebut, dapat diselenggarakan pada tanggal 21 Januari 2007 di Hotel Ataya Kendari yang diikuti oleh seluruh komponen masyarakat se-Pulau Wawonii dengan agenda pokok adalah mendeklarasikan pembentukan Kabupaten Wawonii. Pada saat itu dibentuk “Panitia Percepatan Pembentukan Kabupaten Wawonii (PPPKW)”.  Pelaksanaan rapat akbar tersebut, diinisiasi dan difasilitasi oleh sekelompok generasi muda yang berasal dari Pulau Wawonii sebanyak 9 orang. Sekelompok generasi muda ini kemudian dikenal dengan nama Tim Sembilan mengapa disebut tim Sembilan karena jumlah timnya berjumlah Sembilan orang. Tim sembilan ini yang sebelumnya telah secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan untuk mendiskusikan dan mengkomunikasikan persiapan pelaksanaan rapat akbar dalam rangka pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan kepada segenap komponen masyarakat yang berada di Pulau Wawonii dan di Kota Kendari.
Berikut daftar nama-nama Tim sembilan atau Panitia Pelaksanan Rapat Akbar persiapan Pembentukan Kabupaten Wawonii: 1). Musbahuddin Siddiq, 2). Ishak Azis, 3). La Ode Ali Basiru, 4). Marten Hurusani, 5). Ajesar Boy, 6). Muhammad Farid, 7). Muhammad Buchari, 8). M. Tayeb Demara, dan 9). Ibrahim Siddiq. Sekretariat tim 9 terletak di Kelurahan Benu-Benua Kecamatan Kendari yang merupakan rumah kontrak La Ode Ali Basiru. Tim ini bertugas merencanakan pertemuan akbar atau perdana mempertemukan tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh Adat. Pertemuan dilaksanakan di Hotel  Ataya pada tanggal, 21 Januari 2007. Dalam pertemuan itu hadir tokoh masyarakat Wawonii baik di Kendari maupun di Wawonii, para camat  tercatat lima orang camat yang hadir, tokoh adat, tokoh agama,  pemuda, dan Mahasiswa.
Dalam rangka untuk mengawal dan fasilitiasi pelaksanaan rekomendasi pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, dalam forum mengadakan rapat akbar yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2007 di Hotel Ataya Kendari. Rapat tersebut  telah berhasil menyepakati bentuk dan nama organisasi persiapan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulaun. Dalam forum rapat juga telah berhasil memilih formatur yang akan menyusun personalia panitia. Formatur ini diketuai oleh bapak Drs. H. Muh. Nasir Abdullah dan Sekretaris Awaludin, S.Pd. M.Pd.
Pada pertemuan tersebut disepakati pembentukan atau pemekaran Wawonii menjadi sebuah Kabupaten lepas dari induk Kabupaten Konawe. Pada saat itu dibentuk Panitia Pemekaran, terdiri Ketua Umum bapak Drs. H. Muh. Nasir  Abdullah, dan Wakil Ketua Muhammad Amin Lamampa. Dan pada saat itu juga disepakati nama calon kabupaten pemekaran adalah Kabupaten Wawonii.  Penamaan Kabupaten Wawonii memiliki akar historis bahwa selama ini daerah ini dikenal sebagai pulau Wawonii, pernah berdiri kerajaan Tangkombuno/Wawonii, distrik Wawonii, dan Kecamatan Wawonii. Term Wawonii memiliki arti diatas pohon kelapa. Tanaman kelapa merupakan simbol daerah.
Nama calon pemekaran  Kabupaten Konawe Kepulauan adalah Wawonii, sedangkan calon lokasi ibu kota pembentukan daerah kabupaten Konawe Kepulauan meliputi 3 (tiga) lokasi yang merupakan unggulan untuk disusulkan sebagai calon lokasi ibu kota. Saat itu panitia pemekaran mengusulkan beberapa lokasi calon ibu kota Konawe Kepulauan. Ketiga daerah tersebut yaitu Langara, Tombaone, dan Sawaea. Akhirnya disepakati lokasi ibu kota berkedudukan di Langara.
Dalam sidang DPRD Konawe dengan agenda sidang tanggapan atas permintaan pemekaran, hasilnya diputuskan merekomendasikan kepada eksekutif untuk memproses lebih lanjut aspirasi masyarakat Wawonii. Ketua DPRD Konawe mengeluarkan rekomendasi nama Kabupaten Pulau Wawonii. Akan tetapi setelah berkonsultasi dengan pihak pemerintah dalam hal ini Bupati Konawe berkeinginan lain mengenai penamaan ia mengusulkan dan menetapkan nama daerah pemekaran baru yang letaknya berada di wilayah laut berupa pulau Wawonii  yaitu Konawe Kepulauan.
Setelah kelengkapan administrasi rampung maka berkas diantar ke Jakarta bagian Sekretariat DPR RI dan Departemen Dalam Negeri.  Kabupaten Konawe Kepulauan masuk dalam agenda dari  40  daerah calon pemekaran. Wawoni masuk verifikasi dari 40 calon DPOD turun menjadi 33, kemudian turun menjadi 25, kemudian menjadi 19 nama Kabupaten pemekaran Konkep  tetap ada.
Untuk memperkokoh perjuangan dan mendukung pemekaran dan mengantisipasi poses tersebut maka pada tanggal 28 Desember 2007 diadakan rapat di gedung Komite Nasional Pemuda Indonesai (KNPI) Wua-wua,[22] membahas beberapa langkah-langkah dalam percepatan pemekaran Konawe Kepulauan.
Selanjutnya setelah dinyatakan lolos verifikasi oleh  DPR RI dan Departemen dalam Negeri, dimana terdapat 19 calon DPOD yang akan diadakan peninjauan atau masuk agenda pemekaran di Jakarta. Pada tahun 2008 datang rombongan anggota DPR RI dari Komisi II melakukan peninjaun lokasi  atau lapangan calon daerah pemekaran, termasuk peninjauan calon lokasi ibu kota Kabupaten. Diantara anggota DPRD yang hadir yaitu Hj. Wa Ode Nurhayati, SE, (dari Komisi II, anggota DPR RI asal PAN), H. Kamarudin (anggota DPD RI) dan anggota dari Komisi II DPR RI. Setelah tim dari DPR RI meninjau lapangan beberapa bulan kemudian turun tim gabungan DPOTD melihat dan meninjau kondisi lapangan. Setelah mereka pulang pada saat sidang disimpulkan bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan oleh DPR RI dan DPOTD, Depdagri dinyatakan layak untuk menjadi Daerah Otonomi Baru atau Kabupaten baru.
Pada bulan November 2011 tim dari pemerintah pusat datang di pulau Wawonii. Tim tersebut bertugas untuk melakukan klarifikasi antara usulan dengan kondisi lapangan maka Tim dari Depdagri melakukan kunjungan. Tim DPOD (Direktoral Jenderal Otonomi Daerah) saat turun verifikasi administrasi langsung di wilayah ini  pada bulan November menyatakan di hadapan warga Wawonii, bahwa Konawe Kepulauan sudah layak untuk dimekarkan karena memenuhi syarat verifikasi administrasi. Jadi tim DPOD saat itu mengaku tidak ada alasan Konawe Kepulauan tidak dimekarkan.
Verifikasi dianggap lengkap, maka Kabupaten Konawe Kepulauan masuk tahap selanjutnya yaitu masuk dalam agenda sidang DPR RI bersama beberapa calon DOB. Pada bulan Agustus 2012  Rancangan Undang-Undang Pemekaran telah selesai. Tinggal menunggu jadwal waktu pembahasan. Panitia pemekaran terus melakukan lobi-lobi ditingkat fraksi guna memuluskan pengesahan draf UU pemekaran tersebut. Konawe Kepulauan  dimekarkan bersamaan dengan calon Kabupaten Kolaka timur.
Ujung perjuangan akhirnya terwujud tepat tanggal 13 Desember DPR RI akhirnya bersidang dan mengesahkan dua Daerah otonomi baru khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Konawe Kepulauan sesuai UU nomor: 13 tahun 2013. Pada saat penetapan dan pengesahan UU nomor: 13 tahun 2013 di gedung sidang Nusantara Pramana DPR RI turut hadir: Bupati Konawe Dr. H. Lukman Abunawas, Nisbanurrahim, Awaludin, para camat dalam lingkup wilayah pulau Wawonii seperti Hasan Hartono Camat Wawonii Tenggara, Taha Camat Wawonii Utara, Kadir Camat Wawonii Tengah, Alimudin (Camat Wawonii Timur), unsur tokoh masyarakat, H. M. Amin, Andi Muh. Lattig, SE, tokoh pemuda, dan mahasiswa.
Setelah pengesahan maka pemerintah Kabupaten Konawe bersama Muspika, camat, birokrasi, panitia pembentukan Kabupaten Konkep, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh lapisan masyarakat Wawonii mengadakan syukuran di Langara yang dihadiri oleh Bupati Konawe.
Ujung perjuangan akhirnya terwujud tepat tanggal 13 Desember DPR RI akhirnya bersidang dan mengesahkan dua Daerah otonomi baru khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Konawe Kepulauan sesuai UU nomor: 13 tahun 2013. Setelah pengesahan maka pemerintah Kabupaten Konawe bersama Muspika, camat, birokrasi, panitia pembentukan Kabupaten konkep, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh lapisan masyarakat Wawonii mengadakan syukuran di Langara yang dihadiri oleh Bupati Konawe.
Masyarakat Pulau Wawonii, dan berjuang menuju pemekaran selama kurang lebih 10 tahun, maka hasilnya adalah pada tanggal 2 Januari 2013 keluarlah Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan No. 13 Tahun 2013. Tepat enam bulan kemudian, yakni pada tanggal 2 Juli 2013 dilakukan pelantikan pejabat Bupati Konawe Kepulauan yang dijabat pertama, H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si yang dilantik oleh Gubernur Sultra  H. Nur Alam, SE, M.Si., di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.
Demikianlah sekelumit sejarah terbentuknya pemerintahan di Wawonii sejak dari pra integrasi, selanjutnya pemerintahan  Kerajaan, Distrik, Kecamatan, yang masih dibawah pemerintahan Kendari/Konawe sampai pada terbentuknya Kabupaten Konawe Kepulauan.






Sumber:
Basrin Melamba, dkk. 2014. Penyusunan Sejarah Konawe Kepulauan. Kerjasama Bapedda & PM dengan Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo

Basrin Melamba, S.Pd. M.A. (Dosen Ilmu Sejarah dan Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Univ. Halu Oleo. HP: 081229452311. Email: melambabasrin@yahoo.com

Pada tahun 1980-an seorang Mahasiswa bernama Muh. Nasir Abdullah pernah mengemukakan bahwa suatu saat pulau Wawonii akan mekar seperti halnya pulau selayar di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini dikatakan oleh Muh. Nasir Abdullah pada saat beliau kuliah di Ujung Pandang pada  saat itu.
Tim perumus diketuai oleh Ir. Abdul Halim tim inilah yang merupakan konseptor dalam dinamika perjuangan membentuk Kabupaten Konae Kepulauan.
Setelah diadakan dua kali rapat tidak ada tindak lanjut, maka dibentuk tim perumus yang menyusun proposal pemekaran. Usaha lain dari tim pemekaran adalah menambah jumlah kecamatan karena pada saat itu jumlah Kecamatan yang diusulkan untuk pemekaran berjumlah lima (5) kecamatan. Pada tahun 2007 dilaksanakan pemekaran yaitu Kecamatan Wawonii Tenggara dan Wawonii Timur laut hal ini untuk mengantisipasi perubahan PP 129 tahun 2000 yang mensyaratkan bahwa pemekaran wilayah Kabupaten cukup 5 Kecamatan pendukung, kemudian terbit penganti peraturan pemerintah nomor; 76. Peran anggota DPRD Konawe dalam membentuk dua Kecamatan didukung oleh seperti H. Ishak,…….. yang merupakan putra Wawonii.
Abd.  Abdurahman mengatakan bahwa “pulau Wawonii tidak butuh pemekaran tetapi butuh pembangunan”. Rapat-rapat panitia pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan sering dilaksanakan Aula Bappeda, kantor Tenaga Kerja dan transmigrasi.
Pra rancangan Undang-Undang Wawonii masuk bersama Provinsi Buton Raya, dan Buton Tengah.
Sejak tahun 2012 berlokasi di jalan Bunga Kamboja Kemaraya Kendari Barat sebuah Ruko dipakai sebagai kantor penghubung
Nama     : Ibrahim Siddik
TTL        : Wawonii, 17 Sepetember 1978
Alamat   : Jl. Bahagia No. 32 Kelurahan Bonggoeya Kec. Wua-Wua.
Pekerjaan: Wirasasta
Keterangan: Tim 9 penggagas pemekaran. Dan Panitia

Nama                 : Ir. Abdul Halim, M.Si
TTL                    : Lawey, 6 April 1965
Alamat               : Jl. Orinunggu Kelurahan Padaleu Kec. Kambu Kota Kendari.
Pekerjaan          : Kepala Bappeda & PM Kab. Konawe Kepulauan.
Keterangan        : Koordinator Tim Perumus Pemekaran Konkep

H. Sidik belajar Islam di Mekkah selama 40 tahun kemudian kembali dan bermukim di Pulau Tiga kemudian ia pindah di Wawonii. Ia membangun Masjid pertama di Lansilowo.


Rapat akbar menghasilkan konsensus yaitu; 1. Maklumat masyarakat pulau Wawonii dalam rangka perjuangan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, 2. Nama Organisasi perjuangan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan, tugas dan tanggung jawab panitia persiapan pembentukan kabupaten Konawe Kepulauan, 3. Tugas dan tanggung jawab panitia persiapan pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan.4. Penggalangan dana dan pembentukan jaringan kerja.
Keputusan Tim Formatur Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Wawonii nomor: 001/P3KW/II/2007 tertanggal 10 Februari 2007 tentang susunan panitia persiapan pembentukan Kabupaten Wawonii penasehat Bupati Konawe, Ketua DPRD Konawe, unsur Muspida, Ketua Drs. H. Muh. Nasir Abdullah, Wakil ketua Abdu. Rahman, S.Pd., M.Pd, Sekretaris Awaludin, Spd, M.Pd, Bendahara La Ode Ali Basiru, Wakil Bendahara Ishak Asis, SE dilengkapi badan pekerja Muhammad taufik, SE, M.Si, Perumus koordinator  Ir. Abdul Halim, Mediasi coordinator H. Ibrahim Kadir, SE. ditambah bidang-bidang yaitu bidang Pemberdayaan Perempuan coordinator dra. Hj. Siti Marlina, hubungan Masyarakat koordinator Zakaria Siddiq, Aksi koordinator Moh. Yakub Aziz Toarima, SH, perlengkapan koordinator Syamsudin Damali, S.Sos, dan bidang penggalangan dana koordinator Najamuddin, SE.
Berdasarkan Surat Keputusan Panitia pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan nomor: 15/P3K3/IV/2007 tentang pembentukan tim Kerja yaitu Ketua H. M. Djabir T, BA, Wakil Ketua Drs. Abdul Hasib Mulku, Sekretaris Ir. Abdul Halim, Musbahuddin Siddiq, SH,  dan ditambah 9 orang anggota.
Panitia yang dibentuk sebelumnya tidak berjalan efektif dan efisien maka panitia mengadakan perubahan komposisi personalia panitia persiapan Pembentukan Kabupaten hal ini sesuai surat nomor ; 52/P3KW/VI/2007 tertanggal, 25 Juni 2007.
Pada tanggal 4 Juli 2007 melalui DPRD Kabupaten konawe mengeluarkan keputusan tentang persetujuan pembentukan daerah Kabupaten Wawonii dalam wilayah Pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara nomor: 09/DPRD/2007 yang ditanda tangani oleh Ketua DPRD Kabupaten Konawe H. Abdul Samad, BA. Ini melalui sidang paripurna hal ini tidak terlepas dari beberapa anggota DPRD Konawe sala atau dapil Wawonii.
Pada tanggal 1 Oktober 2007 Bupati Konawe melalui surat nomor: 559 tahun 2007 tentang persetujuan pembentukan daerah kabupaten konawe Kepulauan dalam wilayah pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Yang ditindak lanjuti dengan pembentukan tim kerja penelitian awal rencana pembentukan daerah Kabupaten konawe Kepulauan dalam wilayah pemerintah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, hal ini dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati Konawe nomor: 558 tahun 2007.
Tanggal 1 Oktober 2007 Bupati Konawe  mengirim surat  kepada gubernur Sultra dengan surat nomor 125/2576 perihal penyampaian kelengkapan administrasi pembentukan daerah otonomi baru. Surat tersebut mendapat respon positif Gubernur Sultra pada saat itu H. Ali Mazi, SH.
Tanggal 6 November 2007 gubernur Sulawesi Tenggara H. Ali Mazi, SH bersurat kepada pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara perihal permintaan persetujuan pemekaran Kabupaten konawe nomor; 125/3952. Berisi antara lain cakupan ilayah calon pemekaran terdiri 5 kecamatan yaitu; Kecamatan  Wawonii Barat, Wawonii Timur, Wawonii Utara, Wawonii Selatan, dan Wawonii Tengah. Tempat kedudukan di Wawonii, serta batasan wilayah.
Pada tanggal,  15 Desember 2007 usulan pemekaran mendapat persetujuan oleh pimpinan DPRD provinsi Sultra melalui surat nomor: 16 tahun 2007 yang ditanda tangani oleh pimpinan DPRD dalam hal ini wakil ketua DPR Kadir Ole. Untuk kelengkapan administrasi Gubernur Sultra membuat keputusan nomor: 565 tahun 2007 tentang pemberian bantuan dana awal kepada pemerintah kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Konawe  tertanggal 17 Desember 2007. Dan tanggal yang sama sebagi bukti dukungan dan keseriusan Gubernur H. Ali Mazi, SH mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta perihal usul pembentukan daerah otonomi baru yang tertuang dalam surat nomor: 125/4480 tahun 2007.
Setelah kelengkapan administrasi rampung maka berkas diantar ke Jakarta bagian Sekretariat DPR RI dan Departemen Dalam Negeri.  Kabupaten Konawe Kepulauan masuk dalam agenda dari  40  daerah calon pemekaran. Wawoni masuk verifikasi dari 40 calon DPOD turun menjadi 33, kemudian turun menjadi 25, kemudian menjadi 19 nama Kabupaten pemekaran Konkep  tetap ada.
Untuk memperkokoh perjuangan dan mendukung pemekaran dan mengantisipasi poses tersebut maka pada tanggal 28 Desember 2007 diadakan rapat di gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Wua-wua, membahas beberapa langkah-langkah dalam percepatan pemekaran Konawe Kepulauan.
Selanjutnya setelah dinyatakan lolos verifikasi oleh  DPR RI dan Departemen dalam Negeri, dimana terdapat 19 calon DPOD yang akan diadakan peninjauan atau masuk agenda pemekaran di Jakarta. Pada tahun 2008 datang rombongan anggota DPR RI dari Komisi II melakukan peninjaun lokasi  atau lapangan calon daerah pemekaran, termasuk peninjauan calon lokasi ibu kota Kabupaten. Diantara anggota DPRD yang hadir yaitu Hj. Wa Ode Nurhayati, SE, (dari Komisi II, anggota DPR RI asal PAN), H. Kamarudin (anggota DPD RI) dan anggota dari Komisi II DPR RI. Setelah tim dari DPR RI meninjau lapangan beberapa bulan kemudian turun tim gabungan DPOTD melihat dan meninjau kondisi lapangan. Setelah mereka pulang pada saat sidang disimpulkan bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan oleh DPR RI dan DPOTD, Depdagri dinyatakan layak untuk menjadi Daerah Otonomi Baru atau Kabupaten baru.
Pada bulan November 2011 tim dari pemerintah pusat datang di pulau Wawonii. Tim tersebut bertugas untuk melakukan klarifikasi antara usulan dengan kondisi lapangan. Tim DPOD (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah) saat turun verifikasi administrasi langsung di wilayah ini  pada bulan November menyatakan di hadapan warga Wawonii, bahwa Konawe Kepulauan sudah layak untuk dimekarkan karena memenuhi syarat verifikasi administrasi. Verifikasi dianggap lengkap, maka Kabupaten Konawe Kepulauan masuk tahap selanjutnya yaitu masuk dalam agenda sidang DPR RI bersama beberapa calon DOB. Pra rancangan Undang-Undang Wawonii masuk bersama Provinsi Buton Raya, dan Buton Tengah.
Pada bulan Agustus 2012  Rancangan Undang-Undang Pemekaran telah selesai. Tinggal menunggu jadwal waktu pembahasan. Panitia pemekaran terus melakukan lobi-lobi ditingkat fraksi guna memuluskan pengesahan draf UU pemekaran tersebut. Namun Kabupaten Konawe Kepulauan  tertunda pemekarannya pada saat itu DOB di Sultra telah di syahkan yaitu Kabupaten Kolaka timur.
Pada bulan Desember membentuk Tim yaitu Tim Panitia Khusus bertugas dalam penggalangan dana, koordinasi dengan pemerintah Daerah, DPR RI, Mendagri. Tetapi tim ini gagal tidak berhasil. Selanjutnya dibentuk tim fasilitator mereka diberi rekomendasi yaitu Andi Lutfi, Amarullah, dan Ir. Abdul Halim. Mereka bekerja sejak bulan Januari  hingga bulan Mei 2013 sampai dengan di syahkannya UU nomor: 13 tahun 2013.
Tanggal 6 April pembahasan pertama rancangan UU pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan. Selanjutnya tanggal 12 April tahun 2013 rapat Paripurna pembahasan UU pembentukan  Kabupaten Konawe Kepulauan.  Pada tanggal 11 Mei 2013 Undang-undang nomor 13 tahun 2013 disyahkannya Undang-Undang tersebut.  Selanjutnya  tanggal 15 Mei UU nomor: 13 tahun 2013 resmi diundangkan berdasarkan Lembaran Negara (LN) Nomor: 84 tahun 2013, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor: 5415 tahun 2013. Pasca di pengesahan dan diundangkannya masyarakat Wawonii mengadakan syukuran bersama Bupati, Panitia pemekaran, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan seluruh masyarakat Wawonii.
Setelah melewati tahapan pengusulan calon pejabat Bupati Konawe Kepulauan, maka pada tanggal 23 Oktober tahun 2013 diadakan pelatikan H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si, sebagai Pj. Bupati Konawe Kepulauan pertama yang dilantik di Jakarta  oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.




[1] Disarikan dari tulisan Basrin Melamba, dkk. Penyusunan  Sejarah Konawe Kepulauan. Bappeda & PM dan Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo. Kendari: 2014.
[2] Mengenai eksistensi to Rete ini dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
[3] Francis Fletcher tahun 1854 The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[4] Wawancara Muh. Firkan 25 Juli 2014.  Lihat Firkan, cacatan Sejarah Wawonii tanpa tahun belum terbit.
[5]  Susanto Zuhdi, (1999), hlm. 141-1412.
[6] Francis Fletcher tahun 1854 The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[7] Francis Fletcher tahun 1854 The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher.
[8] (Zuhdi, 1999: 32).
[9] Susanto Zuhdi, 1999, hlm. 7-8.
[10]  Edwar L. Polinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak, 2004), 193-194.
[11] Lihat Arsip surat-surat pemerintahan Onderafdeeling Kendari Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Arsip Kabupaten  Konawe.
[12] Andy Djufri 1992, hlm. 7.
[13] Sumber: Arsip Kabupaten Kendari, 1955.
[14] Tahun 1982 ibu kota kabupaten Kendari dipindahkan dari kota Kendari Ke Unaaha oleh Bupati H. Andrey Djufri, SH.
[15] Kantor Arsip Daerah Prov. Sulawesi Tenggara.
[16] BAPD Sulsel Koleksi Arsip, nomor:  557, hlm. 112.
[17] Andy Djufri 1992, hlm. 7.
[18] Andry Djufri, Memori Bupati Kepala daerah TK.II Kendari, 1992, hlm. 8.
[19] Andry Djufri, Memori Bupati Kepala daerah TK.II Kendari, 1992, hlm.  9. Drs. H. Kaharudin Hamiasa menduduki jabatan terakhir sebagai Sekretaris Daerah Kota Kendari.
[20] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1986
Tentang Pembentukan Kecamatan-Kecamatan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kendari, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kolaka, Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Muna, Dan Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Buton Dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara

[21] Lihat Proposal Pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan 2010.
[22] Sekarang Lokasi Gedung KNPI telah dialihfungsikan menjadi Pusat Perbelajaan Lippo Plaza Kendari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar